Seikat Pertalian Islam dan Filsafat

Salah satu yang kerap disalahpahami adalah karya Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang sering dijadikan dasar untuk menolak filsafat.
Ilustrasi hubungan Islam dan filsafat. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Ilmu filsafat acap kali dihindari. Dianggap berat, membingungkan, bahkan menyesatkan. Di sebagian kalangan Muslim, filsafat bukan sekadar tidak disukai, tapi dicurigai. “Bisa merusak iman,” begitu katanya. Tak sedikit santri bahkan dilarang menyentuh buku-buku filsafat. Namun, benarkah demikian?

Dr. Sururi Maghfuri Abdullah, seorang akademisi jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, justru memiliki pandangan sebaliknya. Dalam Sinikhbar | Siniar Ikhbar di Ikhbar TV, ia menyebut filsafat sebagai alat penting untuk memperdalam iman dan membekali santri menghadapi tantangan zaman.

“Stigma bahwa filsafat itu sesat muncul karena pemahaman yang keliru. Padahal, filsafat justru bisa menguatkan keimanan,” ucap Doktor Uyi, sapaan akrabnya, dikutip Rabu, 23 Juli 2025.

Dosen dan peneliti filsafat, Dr. Sururi Maghfuri Abdullah, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Mengenal Piramida Pola Pikir Manusia dan Responsnya terhadap Pemahaman Agama

Tak bertentangan

Melalui pengalamannya sebagai akademisi, peneliti, sekaligus santri, Doktor Uyi menjelaskan bahwa Islam dan filsafat tidak pernah bertentangan. Bahkan, menurutnya, dalam sejarah Islam, hubungan keduanya telah terjalin sejak awal dan justru saling menguatkan.

Ia menilai tuduhan bahwa filsafat menyesatkan sebagian besar lahir dari warisan pemahaman yang tidak utuh. Salah satu yang kerap disalahpahami adalah karya Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang sering dijadikan dasar untuk menolak filsafat.

“Al-Ghazali itu, sebelum mengkritik, terlebih dahulu mempelajari filsafat secara mendalam. Bahkan setelah itu, beliau menulis karya-karya sufistik yang sarat pemikiran filosofis,” jelasnya.

Bagi Doktor Uyi, kritik Al-Ghazali bukanlah bentuk penolakan terhadap filsafat, melainkan dialog intelektual dengan sesama filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi.

“Kita sering lupa bahwa Al-Ghazali sendiri adalah seorang filsuf,” katanya.

Ia juga menyebut nama Ibnu Taimiyah yang, dalam konteks zamannya—yakni masa penjajahan dan konflik akidah—memilih bersikap keras terhadap filsafat. Namun, menurutnya, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup ruang filsafat pada masa kini.

Baca: Beda Makna ‘Ilmu’ dalam Kamus Islam dan Barat

Akar Islam dalam filsafat

Filsafat bukan barang impor bagi Islam. Sejak abad pertengahan, filsafat tumbuh seiring dengan perkembangan kajian-kajian klasik Islam. Doktor Uyi menyebut tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd sebagai contoh ulama sekaligus filsuf yang menggabungkan logika dan spiritualitas.

“Untuk memahami agama, kita juga memerlukan nalar. Dan filsafat adalah alat bernalar,” ujarnya.

Di pesantren, lanjutnya, pendekatan filsafat sebenarnya telah lama dipraktikkan. Ilmu ushul fikih (prinsip perumusan hukum), balaghah (retorika), hingga manthiq (logika) semuanya melatih santri berpikir kritis. Hanya saja, kajian filsafat sebagai disiplin mandiri belum banyak masuk ke dalam struktur kurikulum formal.

“Yang sering terjadi, santri hanya belajar teks kitab, tapi tidak mendalami metode berpikirnya. Padahal itu yang paling penting dalam filsafat,” katanya.

Baca: Pentingkah Ilmu Filsafat dan Psikologi bagi Santri? Begini Ulasan Kiai Taufik Gedongan

Filsafat dalam pesantren

Doktor Uyi juga mengisahkan pengalamannya saat nyantri di sebuah pesantren yang sempat memiliki kelompok diskusi filsafat. Namun, aktivitas itu terhenti setelah seorang santri bertanya kepada kiai tentang kemungkinan pelaksanaan ibadah haji di luar bulan Zulhijah, dengan alasan panjangnya antrean.

Pertanyaan tersebut dianggap “terlalu kritis” dan memicu sweeping (penyisiran) terhadap buku-buku filsafat. Meski demikian,  dia tidak menyalahkan siapa pun.

“Belajar filsafat harus disertai akhlak. Di pesantren, khidmat (pengabdian) itu penting,” ujarnya.

Jika diberi kesempatan menyusun kurikulum pesantren, Doktor Uyi menyebut tiga syarat utama agar filsafat dapat diperkenalkan secara sehat.

Pertama, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, yakni guru yang benar-benar memahami filsafat. Kedua, ketersediaan referensi di perpustakaan pesantren, bukan hanya kitab fikih dan tafsir. Ketiga, penghapusan stigma, agar santri tidak lagi merasa takut belajar filsafat,” katanya. 

“Kalau tidak dipandu dengan benar, filsafat memang bisa menyesatkan. Tapi kalau dijalankan dengan baik, filsafat sangat berguna bagi pesantren,” sambungnya.

Baca: Ibnu Rusyd: Perempuan Manusia Merdeka

Urgensi filsafat bagi santri

Menurut Doktor Uyi, di era disrupsi dan banjir informasi, santri tidak cukup hanya dibekali hafalan dan dogma. Dibutuhkan kemampuan analitis, reflektif, dan kritis—semua itu tersedia dalam filsafat.

“Kalau santri tidak dibekali filsafat, ia akan gagap ketika menghadapi realitas sosial. Ia bisa menelan apa saja tanpa refleksi,” katanya.

Direktur Institute for Research and Consulting of Education (IRCEDU) itu juga menyatakan bahwa banyak persoalan masyarakat hari ini—mulai dari hoaks, intoleransi, hingga eksploitasi alam—lahir dari kemiskinan refleksi filosofis.

“Relasi dengan Tuhan seharusnya berdampak pada relasi dengan alam. Jika hubungan vertikal baik, tapi eksploitasi tetap jalan, itu kontradiktif,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah mendekatkan filsafat dengan generasi muda. Ia menyebut fenomena filsafat Stoik (pemikiran hidup sederhana dan kuat secara batin) di kalangan Gen Z sebagai bukti bahwa filsafat sebenarnya bisa diterima, asalkan disampaikan dengan pendekatan yang tepat.

“Anak muda hari ini hidup dalam serba instan. Mereka butuh refleksi, kontemplasi. Dan itu adalah kerja filsafat,” ujarnya.

Ia meyakini, filsafat dapat menjadi sarana untuk membantu generasi muda mengenal jati diri dan menghadapi kegalauan zaman. Namun, kerja itu, katanya, harus dimulai sejak dini—bukan baru diajarkan saat kuliah.

Di akhir sesi, Doktor Uyi menyampaikan kesimpulan tegas bahwa filsafat bukan ancaman bagi iman, melainkan alat untuk memahaminya secara lebih mendalam.

“Rasionalitas tanpa spiritualitas adalah kekeringan jiwa. Tapi spiritualitas tanpa rasionalitas adalah kebodohan,” ujarnya, mengutip ungkapan Al-Ghazali.

Kepada para santri, ia menyarankan untuk memulai dengan rasa ingin tahu, keberanian bertanya, dan kemauan untuk mengkritisi hal-hal yang dianggap mapan.

“Selama ini kita menganggap sesuatu itu selesai begitu saja. Padahal kerja filsafat adalah terus mempertanyakan, sampai menemukan makna yang lebih dalam,” tutupnya.

Simak obrolan selengkapnya di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.