Ikhbar.com: Cirebon yang dikenal sebagai Kota Wali memiliki keragaman budaya sejak ratusan tahun silam. Di kota yang terletak di pesisir utara Laut Jawa itu, hidup beragam etnis dan suku bangsa, seperti Jawa, Sunda, Arab, dan Cina.
Keberagaman tersebut terekam dalam sejumlah manuskrip kuno, arsitektur, benda-benda pusaka, dan kesenian.
Direktur Utama Ikhbar.com sekaligus Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, Agung Firmansyah, saat menjadi pembicara dalan seminar “Harmoni Multikulturalisme dalam Sejarah dan Kebudayaan Cirebon,” pada Rabu, 22 Mei 2024, menyebut masyarakat Cirebon sanggup mengelola keragaman tersebut dalam harmoni dan kedamaian.
“Hal itu, misalnya, tampak dalam hibriditas simbol imaji dalam Paksi Naga Liman. Penciptaan simbol ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ada sejumlah variabel yang melatarbelakanginya, seperti situasi sosial, budaya, dan politik pada era tersebut,” ungkapnya.

Baca: History Fair IAIN Cirebon Janjikan Sajian Menarik Seputar Sejarah
Kolaboratif
Ia juga menjelaskan, masyarakat multikultur tidak selalu berakhir menjadi masyarakat multikulturalis, sebagaimana ia kutip dari Rethinking Multiculturalism (2001), karya Bikhu Parekh. Di sisi lain, dalam sejarah dunia, menurut dia, dapat ditemukan peristiwa perjumpaan kultur berbeda dengan tujuan aneksasi.
Dalam konteks Cirebon, lanjutnya, keragaman itu dikelola secara kolaboratif, dengan tetap mempertahankan identitas masing-masing.
“Budaya asing dibawa dan direpresentasikan tokoh-tokoh asing yang memiliki semangat yang sama, yakni untuk berkontribusi terhadap masyarakat Cirebon. Karena mereka juga merasa menjadi bagian integral Cirebon. Hal itu ditampilkan secara eksplisit dalam sejumlah arsitektur, seperti contohnya Masjid Merah Panjunan,” jelas Agung.
Baca: Pelayaran Islam dari Cina ke Indonesia
Inklusif dan harmoni
Agung menambahkan, Masjid Merah Panjunan dibangun komunitas Arab asal Baghdad di bawah pimpinan Syarif Abdurrahman pada 1480. Meskipun demikian, corak arsitektur masjid merupakan perpaduan dari berbagai kebudayaan, termasuk Cina. Hal itu dimaksudkan sebagai simbol inklusivitas dan keharmonisan dalam perbedaan.

Dalam seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (HIMSPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon itu, story teller Cirebon History, Subhan, juga menggarisbawahi sejumlah peristiwa sejarah yang menunjukkan sikap multikulturalisme masyarakat Cirebon.
“Pada abad ke-19, terdapat tokoh etnis Cina kelahiran Cirebon bernama Majoor Tan Tjin Kie. Ia adalah ‘crazy rich‘ yang berkontribusi besar dalam pembangunan di Cirebon. Ia, antara lain, mendirikan Wihara Pemancar Keselamatan sekaligus Masjid Nona di Luwung Gajah, dan membantu mendirikan Rumah Sakit Oranje yang sekarang menjadi RSUD Gunung Jati,” ungkap Subhan.