Pelayaran Islam dari Cina ke Indonesia

Ikhbar.com: Suasana adem nan tenang langsung terasa saat melewati gerbang Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Hal ini cukup bertolak belakang dengan ingar-bingar akses masuk berupa pasar tradisional yang cenderung riuh dan ramai.

Pohon beringin raksasa yang rimbun dan hijau menambah keasyikan berkunjung. Terlebih lagi, hampir di setiap dinding tampak piring porselen khas Tiongkok menempel dengan corak aneka ragam, indah nian.

Gerbang Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat. Dok Ikhbar.com

Piring keramik khas Tiongkok memang ditemukan hampir di setiap dinding bangunan cagar budaya di Kota Udang ini. Selain Keraton Kanoman, benda yang konon merupakan lambang kejayaan Dinasti Ming tersebut juga terdapat di Keraton Kesepuhan, Keraton Kacirebonan, Pemandian Putri Gua Sunyaragi serta Kompleks Makam Sunan Gunung Jati.

“Kami tidak tahu jumlahnya secara persis. Konon dulu didatangkan dari Cina sebanyak tiga kapal,” kata salah satu penjaga Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, Abdul Azis, dikutip pada Ahad, 22 Januari 2023.

Menurut dia, guna menjaga kelestarian piring bernilai sejarah tinggi ini, pihaknya dan para punggawa keraton membersihkan secara ritual sebanyak dua kali dalam setahun. Sementara secara rutin bisa dilakukan dalam setiap pekan atau ketika mendapati barang tinggalan kuno itu tampak kotor.

“Tidak ada bahan khusus dalam membersihkan piring-piring ini. Kami hanya menggunakan kain bersih dan dibasahi dengan sedikit air saja,” ujar dia.

Perihal asal muasal piring porselen Tiongkok ini masih terdapat dua versi yang berbeda. Satu pendapat mengatakan kedatangan piring porselen tersebut merupakan hadiah dari rombongan Laksamana Cheng Ho yang mendarat di Kota Udang sekitar tahun 1415.

“Satu versi lagi mengatakan dari Putri Ong Tien. Putri saudagar asal Cina yang dipersunting oleh Sunan Gunung Jati,” kata pemerhati arsitektur dan kebudayaan Tionghoa, Jeremy Huang.

Dari sekian banyak pola yang tergambar, keumuman piring porselen berdiameter 15 sampai 40 centimeter ini berisi lukisan kisah-kisah tanah Tiongkok, gambar dewa-dewa, serta beberapa pola bertema eropa semisal gambar kincir Belanda dan lainnya.

“Yang jelas, kalau melihat dari polanya, semuanya berasal dari masa Dinasti Ming, terutama raja generasi ketiga, yakni Kaisar Yongle,” kata Jeremy.

Tan Ta Sen dalam Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara (2018) menceritakan, jelang akhir abad ke 14, kawasan Asia Tenggara sedang dalam persimpangan jalan. Muncul dua kecenderungan yang pada akhirnya mengubah lanskap politik dan keagamaan kawasan ini pada abad-abad selanjutnya.

Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti Ming rupanya turut tertarik dalam usaha untuk menunjukkan pengaruhnya kepada dunia. Melalui pelayaran-pelayaran penuh misi di bawah kendali seorang laksamana bernama Cheng Ho, Tiongkok mulai menapakkan jejak-jejaknya dan masih bertahan hingga sekarang.

“Armada Cheng Ho yang merupakan simbol keperkasaan Ming China membuat pelayaran pertamanya di Samudra Pasifik dan Samudera Hindia pada 1405, dan terus berlanjut secara periodik hingga tahun 1433,” tulis dia.

Laksamana Cheng Ho adalah seorang pelaut kepercayaan Kaisar Yongle sebagai generasi ketiga Dinasti Ming di Tiongkok. Cheng Ho, disebut-sebut sebagai sosok yang menguatkan salah satu jalur persebaran komunitas Tionghoa di Indonesia.

Dalam Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia dan Tiongkok (2019), Fatquri Hua menyebut Ceng Ho turut berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Saat datang ke Indonesia, Cheng Ho bersama anak buahnya disambut hangat oleh masyarakat Indonesia. Tim ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho itu datang menggunakan 208 kapal. Anak buah kapal (ABK) mayoritas beragama Islam.

Cheng Ho juga selalu menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang selalu diajarkan dalam Islam sebagai pondasi agama dalam kehidupan. Peran Cheng Ho membuktikan penguatan penyebaran Islam di Indonesia oleh penyebar sebelumnya dari beberapa etnis, seperti Arab, India, dan Persia.

Setelah sukses menyebarkan Islam, menurut Fatquri, barulah muncul kerajaan Islam pertama di Demak. Raja pertama yang ditunjuk juga merupakan seorang etnis Tionghoa bernama Raden Patah. Nama Tionghoanya adalah Jin Bun.