Cawapres Gibran Bicara Keberlanjutan, Ini Konsepnya menurut Islam

Calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka saat debat Cawapres pada Jumat (22/12/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

Ikhbar.com: Debat calon wakil presiden (cawapres) perdana dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 berisi pemaparan visi-misi, khususnya di bidang ekonomi. Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka menegaskan, keberlanjutan, percepatan, dan penyempurnaan pembangunan menjadi hal yang perlu dilakukan para pemimpin di periode berikutnya.

“Narasi besarnya adalah keberlanjutan dan penyempurnaan,” tegas pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto itu dalam debat yang dilaksanakan di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat, 22 Desember 2023, malam.

Keberlanjutan tersebut, menurut dia, meliputi berbagai kepentingan bangsa dan negara, seperti hilirisasi multi-aspek, pemerataan pembangunan yang tidak Jawa-sentris, dan pengembangan ekonomi kreatif dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Baca: Ini Arti Ayat Al-Qur’an yang Dibaca Prof. Mahfud dalam Debat Cawapres

Konsep Keberlanjutan dalam Islam

Melanjutkan hal-hal baik dalam ajaran Islam adalah salah satu bentuk dari amal saleh atau perbuatan yang diperintahkan Allah Swt.

Bagi inisiator dan penerusnya, akan mendapatkan balasan atas tren yang dilestarikan. Sementara itu, bentuk balasannya disesuaikan dengan aktivitas yang diciptakan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa melakukan kebaikan dan setelah itu diikuti dan dilakukan orang lain, maka akan dicatat baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, dan sedikit pun tidak akan mengurangi pahala orang itu. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu keburukan lalu diamalkan orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.”

Keberlanjutan program atau kebijakan bukan hal baru dalam sejarah Islam. Khulafaur Rasyidin telah meneladankan perilaku tersebut dari periode ke periode.

Sebagai contoh, Imam As-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa menceritakan, Khalifah Umar bin Khattab melanjutkan perluasan dan pengembangan wilayah Islam ke Persia yang telah dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar. Pasukan Islam yang menuju Persia berada di bawah pimpinan panglima Saad bin Abi Waqas.

Program keberlanjutan yang amat penting dan dilanjutkan Khulafaur Rasyidin adalah kodifikasi mushaf Al-Quran. Pada akhir pemerintahan Abu Bakar, proses kodifikasi menghasilkan ayat Al-Quran yang tersusun secara rapi dalam satu mushaf.

Mushaf tersebut disempurnakan Khalifah Utsman bin Affan dengan menyeragamkan dialeknya, kemudian dikenal dengan Mushaf Utsmani. Proses kodifikasi ini tuntas pada tahun 25 H.

Baca: ‘Slepet’ Gus Imin, Kekayaan Fungsi dan Tradisi Ketegasan Santri

Keberlanjutan sebagai penanda istikamah

Dalam ajaran Islam, tema keberlanjutan juga memiliki kaitan yang erat dengan sikap istikamah dalam menjalankan nilai kebaikan.

Secara etimologis, istikamah berasal dari kata “istaqama-yastaqimu,” yang berarti tegak lurus. Bentuk fa’il-nya (pelaku) menjadi mustaqim, yakni orang atau sesuatu yang lurus.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istikamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian atau konsekuen. Sedangkan dalam pengertian akidah dan akhlak, istikamah adalah sikap teguh pendirian dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekali pun harus menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan.

Secara garis besar, sikap istikamah adalah mengerjakan kebaikan secara konsisten. Terlepas dari apakah kebaikan itu bernilai besar maupun sederhana.

Dalam QS. Al-Zalzalah: 7-8, Allah Swt berfirman:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ. وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ

“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”

Baca: Nilai-nilai Islami Cawapres RI

Rasulullah Saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، خُذُوا مِنْ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ. فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai sekalian manusia. Kerjakanlah amalan-amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.” (HR Bukhari dan Muslim).  

Istikamah merupakan hal yang sangat penting bagi umat Islam yang mengharap kebaikan-kebaikan yang lebih dari Allah. Dalam QS. Hud: 112, Allah Swt berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Maka tetaplah (istikamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.