Ikhbar.com: Menulis menjadi tradisi yang tak terpisahkan dengan keseharian ulama di masa lampau. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani, misalnya, berhasil melahirkan sekitar 115 kitab berbahasa Arab meliputi bidang fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Selain Syekh Nawawi, beberapa ulama Nusantara yang dikenal produktif dalam menulis adalah Syekh Mahfudh Termas, Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani, Syekh Saleh Darat Semarang, Syaikhona Khalil Bangkalan Madura, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Ihsan Jampes, KH Bisri Mustofa, KH MA. Sahal Mahfudh, KH Maimoen Zubair dan banyak lagi nama luhur lainnya.
Sayangnya, tradisi membukukan khazanah keilmuan melalui karya yang lazim disebut kitab kuning itu terkesan kian meredup. Kebiasaan luhur menyajikan pengetahuan lewat buku berbahasa Arab memang masih diteruskan oleh sejumlah tokoh di Indonesia, akan tetapi gaungnya tidak sesemarak produktivitas keilmuan di masa-masa silam.
Lahir sebagai komentar realitas sosial
Hikam al Hukama wa al Falasifah adalah satu judul yang muncul dari tradisi yang dianggap kian meredup tersebut. Kitab yang ditulis oleh ulama karismatik, Buya Dr. KH Husein Muhammad, baru-baru ini menjadi semacam kabar gembira bahwa kultur kepenulisan ulama di Indonesia itu tak sebenar-benarnya padam.
Buya Husein, sapaan akrabnya, memang dikenal sebagai kiai yang dinilai produktif dalam menulis. Buya Husein telah mempersembahkan banyak buku berbobot ke khalayak ramai. Bedanya, Hikam al Hukama wa al Falasifah menjelma buah pemikiran yang dikemas secara apik dalam susunan bahasa Arab yang runut sebagaimana kebiasaan ulama-ulama terdahulu dalam melahirkan sebuah mahakarya.
Buya Husein menceritakan, penulisan Hikam al Hukama wa al Falasifah bermula dari kegelisahan hatinya saat membaca realitas manusia yang mayoritas tampak kehilangan roh spiritual. Dampaknya, hari-hari manusia modern hanya dipenuhi aura kemarahan dan permusuhan.
“Hingga seakan tak ada hari tanpa ledakan emosi kemarahan, dengki dan permusuhan, arogansi, egois, perendahan martabat manusia dan sejenisnya,” kata Buya Husein, Selasa, 15 Agustus 2023.
Menurut pendiri Yayasan Fahmina itu, dunia Islam telah kehilangan para ulama, kaum bijak bestari, dan filsuf yang membawa lilin guna mencerahkan hati dan pikiran manusia.
“Sufi besar, Maulana Jalaluddin Rumi, menggambarkan dengan indah keadaan tersebut dengan kata-katanya, ‘Dunia tengah tenggelam dalam lara dan penuh luka dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Tak ada harapan untuk sembuh kecuali melalui sentuhan tangan cinta,” ungkap sosok yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr, Cirebon tersebut.
Buya Husein juga mengutip ungkapan intelektual Muslim, Prof. Dr. Sayyed Hossen Nashr yang menyatakan bahwa krisis eksistensial yang terjadi di dunia kontemporer merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern. “Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, dia sejatinya telah bergerak ke luar dari pusat eksistensinya sendiri menuju ke arah eksistensi pinggiran,” katanya.
“Seorang filsuf, sejarawah dan dokter Muslim tekemuka Syamsuddin Al-Syahrzuri dalam pendahuluan Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah, juga mengatakan, ‘Zaman telah sepi dari kehadiran manusia-manusia seperti para tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia diliputi oleh kebodohan (ketidak-mengertian). Bila kau seorang intelektual yang serius dan pemikir yang memeroleh petunjuk Tuhan, seyogyanya mengikuti jejak mereka dan mencari-cari dengan sungguh-sungguh kabar tentang mereka,” tambah Buya Husein.
Baca: Doa Buya Husein yang Menyentuh Hati dalam Peringatan Haul Gus Dur
Oleh karena itu, lanjut Buya Husein, dirinya turut berusaha untuk menghadirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang pernah disajikan para ulama dan filsuf di masa lalu. Semangat itu juga didukung dari hadis yang diriwayatkan Imam Al-Salhawi dalam Al-Maqashid al-Hasanah. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ambillah kebijaksanaan, dari mana pun berasal. Ia tak akan merugikan”.
Dalam riwayat lain, Nabi Saw juga bersabda, “Hikmah (kebijaksanaan) adalah sesuatu yang hilang dari tangan orang beriman. Di mana pun dia menemukannya, maka dia lebih berhak mengambilnya.”
“Atas dasar hadis tersebut, saya mulai membaca dan menyeleksi kata-kata bijak para ulama, sufi, an filsuf sejak zaman sebelum Masehi sampai sesudahnya. Beberapa buku yang saya baca antara lain, Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah fi Tarikh al-Hukama wa al-Falasifah, karya Syamsuddin Al-Syahrzuri. Kemudian Tarikh al-Hukama karya Al-Qifthi, Qawa’id al-‘Isyq al-Arba’un karya Elif Syafaq, dan lain-lain,” katanya.
Dari kalangan filsuf, lewat Hikam al Hukama wa al Falasifah itu, Buya Husein mengangkat kutipan bijak dari Hermes, Sokrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, Luqman al- Hakim, Epictetus, Marcus Aurelius, dan Plotinus.
“Sedangkan dari para ulama dan sufi antara lain Amir al-Mukminin Umar bin al-Khattab, Sayyid Ali bin Abi Thalib, Rabi’ah al-‘Adawiyah, Fudhail bin ‘Iyadh Abu al-Harits al-Muhaasono, Dzun Nun al Mishri, Abu Yazid al Bisthami, Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Rusyd al Hafid, Al-Syeikh al-Akbar Muhyiddin ibn Arabi, Syeikh Syams al-Din al-Tabrizi, Maulana Jalaluddin Rumi, dan Ibnu Athaillah al-Sakandari,” ungkap Buya Husein.
Menulis dan menebar cinta tiada henti
Sebelum mempersembahkan Hikam al Hukama wa al Falasifah, Buya Husein telah menulis puluhan buku, di antaranya, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (2004), Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren (2006), Ijtihad Kyai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (2011), Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan (2014), Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015), Islam: Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan (2016), Islam Tradisional yang Terus Bergerak (2019), Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo (2020), Kidung Cinta Syams Tabrizi-Maulana Rumi (2021), Perempuan Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas (2022), serta banyak judul lainnya.
Hari-hari Buya Husein, seakan menjadi perputaran roda waktu yang digerakkan pemikiran, tinta, dan pena, tiada henti.
“Setiap ada waktu luang, saya membaca buku atau kitab, mengaji. Lalu menulis di media sosial, biasanya di Facebook atau Instagram. Itu dilakukan dalam keadaan duduk, di jalan, atau pun mau tidur,” aku Buya Husein.
Buya Husein mengaku, hal itu biasanya dilakukan guna merespons keadaan sosial yang sedang dibincangkan. “Tetapi saya tdk meng-counter secara vulgar, tetapi menyampaikan pandangan esensial kemanusiaan atau jalan saja, tanpa menyebut nama. Kadang mengutip pandangan para filsuf, sufi atau pemikir,” kata Buya Husein.
Dalam setiap gagasan yang ditulisnya itu, Buya Husein mengaku hanya ingin turut ambil bagian dalam upaya mendorong kembali semangat pemikiran Islam dan pesantren yang terbuka, berkeadilan, serta mengedepankan cinta.
Baca: Ini Tugas Berat Pendidik Menurut Buya Husein
“Diperlukan demi menciptakan ruang-ruang pendidikan dengan metode dialektika socratik, bukan metode indoktrinasi, dan menggerakkan santri utk menulis,” katanya.
“Jangan biarkan hari-harimu pergi tanpa membaca, menulis, membagi pengetahuan, dan menebarkan cinta,” pesan Buya Husein.
Kitab Hikam al hukama wa al falasifah akan dikaji langsung oleh Buya Dr. KH Husein Muhammad dalam pengajian bulanan yang digelar Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mulai Ahad, 3 September 2023, pukul 14.00-15.30 WIB. Pengajian akan digelar secara hybrid lewat Zoom Meeting dan di Kampus ISIF Cirebon.
Peserta pengajian secara online maupun offline diharap melakukan pendaftaran dan mengonfirmasi kehadiran maksimal H-3. Untuk pendaftaran, konfirmasi kehadiran, dan pembelian kitab, bisa menghubungi +62 822-1037-2148.