Tafsir QS. Ash-Shaffat Ayat 102-107: Seni Merelakan ala Nabi Ibrahim dan Ismail

Merelakan menjadi barang yang mahal di hari ini, terlebih tentang mengikhlaskan sesuatu yang paling dicintainya.
Ilustrasi sejarah kurban. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Iduladha bukan sekadar perayaan penyembelihan hewan, melainkan momentum spiritual untuk menyembelih ego dan keterikatan batin. Sebab yang diuji dalam kisah Nabi Ibrahim As bukan kekuatan tangan, melainkan ketulusan hati untuk melepaskan apa yang paling dicintai demi ketaatan kepada Allah Swt.

Merelakan menjadi barang yang mahal di hari ini, terlebih tentang mengikhlaskan sesuatu yang paling dicintainya. Keteladanan Nabi Ismail As sudah selayaknya menjadi acuan umat Muslim, terutama kalangan anak muda. Pasalnya, saat ini banyak anak muda yang dinilai sulit melepaskan ambisi, keinginan, maupun citra diri yang dirawat demi pengakuan.

Di tengah budaya yang menuntut pencapaian dan validasi terus-menerus, sosok Nabi Ismail As menawarkan keteladanan yang kontras, yaitu sosok yang sedari anak-anak sudah penuh dengan kesadaran untuk memilih tunduk pada perintah Ilahi, bahkan ketika itu berarti menyerahkan sesuatu yang paling berharga, yakni dirinya sendiri.

Nabi Ismail As merelakan dirinya tanpa keraguan dan tawar-menawar. Keteguhan serta ketundukannya menunjukkan bahwa kedewasaan spiritual bukan soal pencapaian luar, melainkan kemampuan batin untuk merelakan.

Baca: Ringkasan Fikih Kurban

Pengorbanan terdalam

Kisah kerelaan Nabi Ismail As terekam dalam QS. Ash-Shaffat: 102-107. Allah Swt berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ. فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ. وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ. اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.’ Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami memanggil dia, ‘Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar.”

Dalam Tafsir fi Zilal Al-Qur’an, Sayid Quthb menjelaskan bahwa mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail dalam ayat 102 bukanlah perintah yang eksplisit dan langsung, melainkan hanya berupa isyarat ilahi. Meskipun sifatnya tidak tegas, Ibrahim tidak meragukannya sedikit pun.

Nabi Ibrahim tidak mempertanyakan mengapa Allah menghendaki pengorbanan sebesar itu terhadap anak semata wayangnya. Sebaliknya, ia menerimanya dengan lapang dada dan ketundukan penuh, sebagai bentuk kepatuhan total kepada kehendak Allah.

Sementata menurut Prof. KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, kata “ara” (saya melihat) dan “adzbahuka” (saya menyembelihmu) merupakan fi’il mudhari’ alias kata kerja bentuk sekarang dan akan datang. Begitu pula dengan kata “tu’mar” (kamu diperintahkan). Ini menunjukkan bahwa mimpi yang dialami Nabi Ibrahim terasa begitu nyata dan terus hadir dalam benaknya hingga saat ia menceritakannya kepada Ismail.

Penggunaan bentuk kata kerja tersebut juga mengisyaratkan bahwa perintah penyembelihan itu belum benar-benar dilaksanakan atau masih berada dalam proses ketaatan. Itulah sebabnya Ismail pun merespons dengan menggunakan fi’il mudhari’, sebagai penanda kesiapan dan kerelaannya menjalani perintah Allah, baik yang sedang berlangsung maupun yang akan datang.

Pada akhir kalimat ayat 102, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Qur’an al-Majid menyebut bahwa pada diri Ismail terpancar penghayatan iman yang benar dan penyerahan diri yang sempurna. Selain itu, dalam dirinya menunjukkan rasa sabar dan rela yang besar kepada ketetapan Allah dengan sepenuh-penuhnya.

Baca: [Filosobih] Labbaik!

Ketundukan total

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa QS. Ash-Shaffat: 103 menggambarkan ketundukan total Nabi Ibrahim dan Ismail terhadap perintah Allah.

Imam Ibnu Katsir menyebut bahwa keduanya berserah diri sepenuhnya, dan Ibrahim membaringkan anaknya untuk melaksanakan perintah tersebut. Kata “aslama” memiliki makna berserah diri dan pasrah. Ibrahim telah pasrah dan siap untuk menyembelih, begitupun anaknya yang siap untuk menaati orang tuanya.

Sementara kalimat “tallahu lil jabiin” artinya membaringkan di atas wajahnya untuk disembelih pada tengkuknya. Dan ketika menyembelih, Ibrahim tidak melihat wajah Ismail, hal itu dilaiukan agar lebih meringankannya pada saat penyembelihan.

Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa QS. Ash-Shaffat: 104 menunjukkan bahwa Allah memanggil Nabi Ibrahim setelah beliau membaringkan Ismail untuk melaksanakan perintah penyembelihan. Panggilan ini merupakan bentuk penghormatan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang telah menunjukkan ketaatan luar biasa. Allah memanggil Ibrahim dengan lembut, menandakan bahwa ujian tersebut telah selesai dan diterima.

Dalam menjelaskan QS. Ash-Shaffat: 105, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib juga menyoroti penggunaan kata kerja dalam ayat ini. Ia menjelaskan bahwa penggunaan fi’il madhi (kata kerja lampau) dalam frasa “qad shaddaqtar-ru’ya” (sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu) menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim telah melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati, meskipun perintah tersebut datang melalui mimpi.

Imam Ar-Razi juga menekankan bahwa tindakan Nabi Ibrahim ini mencerminkan tingkat keimanan dan kepatuhan yang tinggi. Pasalnya, ia tidak ragu untuk melaksanakan perintah yang sangat berat tersebut.

Baca: Begini Rupa Kambing Pengganti Nabi Ismail dalam Sejarah Kurban

Pemain pengganti

Senada, Sayid Mahmud Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk penghargaan Allah terhadap ketaatan Nabi Ibrahim. Frasa “qad shaddaqtar-ru’ya” menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim telah memenuhi perintah Allah yang disampaikan melalui mimpi, dan ini menjadi bukti keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam beribadah.

Al-Alusi juga menambahkan bahwa balasan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang berbuat baik, seperti Ibrahim adalah bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

Berikutnya, pada QS. Ash-Shaffat: 106, Imam Al-Baghawi dalam Ma’alim At-Tanzil menyebut bahwa ayat ini merupakan perintah nyata atas instruksi dari Allah kepada Nabi Ibrahim. Ujian ini bertujuan untuk menguji keimanan dan keteguhan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah, serta menunjukkan bahwa beliau adalah hamba yang taat dan ikhlas.

Imam Al-Thabari dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Qur’an menyebut bahwa QS. Ash-Shaffat: 107 menunjukkan bahwa Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar sebagai bentuk penghormatan atas ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail. Imam Al-Thabari juga menyebutkan bahwa hewan tersebut adalah seekor domba jantan yang besar yang diturunkan dari surga.

Sementara dalam Ta’wilat Ahl al-Sunah, Imam Abu Mansur Al-Maturidi menekankan bahwa penggantian Ismail dengan sembelihan besar menunjukkan tujuan utama dari perintah penyembelihan, yakni untuk menguji ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim. Setelah terbukti taat, Allah menggantikan Ismail dengan hewan sembelihan sebagai bentuk rahmat dan penghargaan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.