Ikhbar.com: Waktu terus berjalan tanpa henti tanpa memedulikan siapa yang lalai dan yang bersiap diri. Di setiap detiknya, manusia memiliki kesempatan berharga yang terus bergulir dan tak akan kembali.
Oleh karenanya, mengisi waktu dengan ibadah dan amal saleh bukan sekadar kewajiban bagi setiap Muslim, melainkan juga sebagai cara untuk meraih ketenangan batin dan kebahagiaan abadi. Pasalnya, di tengah kesibukan dunia, hanya mereka yang pandai memanfaatkan waktulah yang akan menuai hasilnya kelak.
Pentingnya menjaga keberkahan waktu ini telah disinggung dalam QS. Al-Ashr: 1-3. Allah Swt berfirman:
وَالْعَصْرِۙ. اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ. اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”
Baca: Waktu Terasa Cepat Tanda Kiamat?
Asal-usul
Kandungan QS. Al-Ashr berbicara terkait pentingnya manusia dalam memanfaatkan waktu. Tidak hanya itu, mereka juga dianjurkan untuk mengisinya dengan aktifitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab menegaskan, jika seseorang tidak mampu memanfaatkan waktu dengan baik, maka kerugian dan kecelakaanlah yang menanti mereka.
Sementara menurut ulama ahli qiraat, KH Ahsin Sakho Muhammad dalam Tafsir Kebahagiaan (2019) menjelaskan, meski terbilang pendek, QS. Al-Ashr memiliki cakupan isi yang sangat padat, yakni mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Terkait asbabun nuzul, Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Azhar karya KH Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka mengungkapkan asal muasal surat ini disebut dengan waktu asar. Ia menjelaskan, dahulu kala, orang-orang Arab gemar duduk membincangkan persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari di setiap memasuki waktu sore. Di momen tersebut, tidak sedikit dari mereka berlomba-lomba untuk bermegah-megah dan berlebihan tentang asal-usul nenek moyang, kedudukan, harta, dan kekayaan mereka hingga tak jarang terjadi pertengkaran dan saling menyakti hati sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan.
Melihat kejadian tersebut, sebagian mereka sering sekali mencaci bahkan mengutuk waktu asar, dengan mengatakan bahwa waktu asar adalah waktu yang dapat membuat celaka dan membuat sial. Hingga akhirnya, Allah menurunkan QS. Al-Ashr untuk memberikan penjelasan kepada orang-orang Arab jahiliyah bahwa waktu asar tidak salah. Kesalahan sebenarnya terletak pada manusia sendiri yang tidak menggunakan waktunya dengan baik.
Baca: Akhir Tahun, Baca Doa Introspeksi Diri Ini
Ragam tafsir
Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, QS. Al-Ashr sejatinya menguraikan tentang hakikat dari nilai pendidikan kedisiplinan. Menurutnya, jika umat Muslim merenungkan kembali surat ini, maka mereka akan mengetahui terkait pentingnya manajemen waktu.
Saking pentingnya waktu, Allah Swt bersumpah melalui surat tersebut. Ia menegaskan, seseorang akan celaka jika mereka menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Sebaliknya, orang yang memiliki iman dan senantiasa menjalankan amal saleh, serta saling berwasiat terhadap kebenaran dan kesabaran, maka ia akan menjadi umat yang beruntung.
Sementara itu, menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labib menegaskan bahwa manusia pada umumnya berada dalam kerugian. Mereka yang menghabiskan umurnya untuk mengejar kesenangan duniawi yang fana akan divonis sebagai orang yang merugi lantaran dunia hanya bersifat sementara. Setelah kematian, kesenangan duniawi itu akan hilang dan musnah.
Lebih lanjut, Syekh Nawawi menjelaskan, orang-orang yang tidak beriman dan tidak mengerjakan amal saleh dipastikan ia akan mengalami kerugian dalam berkurangnya amal setelah tua dan mati. Ketika usia semakin tua, kekuatan dan kemampuan manusia semakin berkurang. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa melakukan amal sebanyak yang mereka lakukan ketika masih muda.
Dalam ayat ini, kata Syekh Nawawi, Allah menggunakan kata “khusrin” (kerugian), yang interpretasinya dapat berupa kerugian materi, kerugian moral, atau kerugian spiritual.
Menurutnya, kerugian materi dapat berupa kehilangan harta benda, kehilangan pekerjaan, atau kehilangan kesempatan. Sementara kerugian moral dapat berupa melakukan perbuatan dosa dan maksiat yang akan merugikan manusia di akhirat. Sedangkan kerugian spiritual dapat berupa kehilangan petunjuk Allah dan tidak mencapai kebahagiaan sejati.
Selain itu, Syekh Nawawi meyakini bahwa manusia berada dalam kerugian jika mereka tidak memanfaatkan waktu dan energi untuk mencari petunjuk Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya.
Baca: ‘Mindful Reading’ Al-Qur’an, Terapi Meraih Ketenangan
Kunci menghindari kerugian
Imam Syafi’i sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan terkait faidah QS. Al-Ashr.
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.”
Imam Syafi’i meyakini, jika seorang yang berakal mendengar atau membaca QS. Al-Ashr, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang terkandung di dalamnya, yaitu beriman, beramal salih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah), dan saling menasehati untuk bersabar.
Penjelasan terkait faidah QS. Al-Ashr juga dijelaskan Imam Al-Baidhawi dalam Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil. Melalui karya tafsirnya itu, ia mengutip riwayat dari Rasulullah Muhammad Saw tentang keutamaan surat ini:
من قرأ سورة وَالْعَصْرِ غفر الله له وكان ممن تواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
“Barang siapa membaca surat Al-’Ashr maka Allah akan memberikan ampunan kepadanya dan dia termasuk dari orang-orang yang saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran.”
Sayid Quthb dalam Tafsir fi Zilal Al-Qur’an memberikan penjelasan amal saleh. Menurutnya, amal saleh merupakan buah alami bagi iman dan pengembangan yang didorong adanya inti kepercayaan di dalam hati.
Jadi, menurut Sayid Quthb, Iman adalah sifat yang dinamis dan energik. Jika Iman sudah mantap dalam hati, niscaya ia akan berusaha mewujudkan diri dari luar dalam bentuk amal saleh.
Sebagai penutup, fenomena waktu yang belakangan terasa semakin cepat sejatinya dapat dimaknai sebagai isyarat berkurangnya keberkahan dalam hidup. Jika waktu yang berlalu hanya dipenuhi dengan kesibukan tanpa makna, maka hakikat keberkahan itu perlahan sirna.
Oleh karena itu, ikhtiar untuk memaksimalkan pemanfaatan waktu menjadi sebuah keharusan. Dengan mengisi waktu dengan amal kebaikan, mengutamakan hal-hal yang bermanfaat, serta senantiasa memperbaiki niat dan tujuan, keberkahan waktu dapat diraih kembali. Sebab, waktu bukan sekadar hitungan detik dan menit, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.