Ikhbar.com: Unidentified flying object (UFO) lazim diasosiasikan sebagai alien alias makhluk berkecerdasan tinggi dari luar bumi. Namun, berbeda dengan anggapan umum, The National Aeronautics and Space Administration (NASA) mendefinisikannya sebagai peristiwa-peristiwa penampakan yang tidak dapat diidentifikasi sebagai pesawat terbang atau fenomena alam.
Hingga saat ini, melalui komite khusus, NASA telah memeriksa 800 laporan penampakan fenomena anomali tak dikenal itu. Komite ini dipimpin astrofisikawan David Spergel dan terdiri dari tim ahli para profesor universitas dan mantan astronaut.
“Terungkap bahwa beberapa laporan mudah dijelaskan sebagai kapal, pesawat, atau cuaca. Beberapa memiliki asal-usul yang lucu, misalnya berdasarkan peristiwa makan siang. Hanya sedikit yang masih menjadi misteri,” ungkap NASA, dikutip dari The Conversation, Selasa, 8 Agustus 2023.
Direktur Kantor Penyelesaian Anomali Seluruh Domain (AARO) Departemen Pertahanan AS, Sean Kirkpatrick mengatakan, UFO merupakan bagian dari unidentified anomalous phenomena (UAP) atau “fenomena anomali tak dikenal.” Meskipun keduanya sering dianggap sama, akan tetapi UAP memiliki pengertian yang lebih luas, yakni bisa terjadi di darat, laut, udara, atau ruang angkasa.
“Sebagian besar UAP dapat dijelaskan dengan mudah. Misalnya, kapal yang berada rendah di cakrawala mengelabui pilot dengan perspektif yang aneh. Hanya sekitar 2 hingga 5 persen dari basis data yang benar-benar anomali dan belum dapat dijelaskan,” ujar Kirkpatrick.
Baca: NASA Klaim Temukan Kembaran Bumi yang Bisa Ditinggali Manusia
Ekstraterestrial dalam Al-Quran
Dalam khazanah Islam, perdebatan mengenai eksistensi makhluk ekstraterestrial (di luar planet bumi) telah berlangsung lama. Diskursus ini bertolak dari penafsiran atas QS Asy-Syura: 29.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيْهِمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ ۗوَهُوَ عَلٰى جَمْعِهِمْ اِذَا يَشَاۤءُ قَدِيْرٌ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhluk melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila Dia menghendaki.”
Tafsir Tahlili Kementerian Agama (Kemenag) menerangkan, ayat tersebut mengindikasikan kemungkinan keberadaan makhluk hidup di luar bumi. Dugaan tersebut didukung bukti ilmiah temuan NASA, berupa jejak mikroskopis di Mars berusia tiga miliar tahun.
Pakar ilmu Al-Quran, Dr. KH Akhsin Shakho Muhammad tak menampik dugaan itu. Menurutnya, pembuktian eksistensi organisme di luar zona kehidupan bumi dapat diserahkan kepada sejarah, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian pula yang disampaikan penulis Tafsir Al-Mishbah, Prof. Dr. KH M. Quraish Shihab. Menurutnya, kata “dabbah” merujuk kepada makhluk yang bergerak. Jangkauan kata itu merentang dari binatang besar hingga jasad renik.
Ia menambahkan, hal itu sejalan dengan penemuan ilmuwan astrobiologi bahwa terdapat makhluk hidup yang bisa bertahan di kondisi yang berbeda dari bumi. Sebut saja, mikroorganisne bernama Tardigrada atau kerap dijuluki beruang air. Makhluk ini dapat bertahan hidup di lingkungan yang ekstrem, seperti puncak Himalaya, dasar samudra, hingga luar angkasa.
Baca: Begini Cara Wudu dan Salat di Luar Angkasa
Sebelumnya, Syekh Abul Ala Al Maududi pun berpendapat serupa. Dalam Tahfim ul Quran, dia menguatkan keterangan tersebut dengan menafsiri QS. At-Talaq: 12.
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah-Nya berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Maududi menjelaskan, Allah telah menciptakan bumi-bumi lain yang dihuni oleh makhluk berakal seperti manusia dan makhluk-makhluk lainnya. “Dengan lain kata, gemintang dan planet-planet yang tak terhitung jumlahnya tak semuanya ditelantarkan. Tapi, seperti bumi, banyak di antaranya yang ditinggali,” tulis Maududi.
Ia mendasari pendapat itu dengan mengutip Ibnu Abbas, salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw sekaligus sebagai salah satu penafsir awal Al-Qur’an. Maududi mengutip kisah yang jamak diriwayatkan ulama-ulama terdahulu bahwa Ibnu Abbas mulanya enggan menyampaikan tafsir terhadap ayat tersebut karena khawatir keimanan umat Islam bakal terguncang.
Meskipun begitu, tulis Maududi, para penafsir klasik seperti Ibnu Jaarir Atthabari, Ibnu Abi Hatim Arrazi, dan Imam Baihaqi, juga mengutip keterangan tambahan dari Ibnu Abbas. “Dalam tiap-tiap bumi tersebut, terdapat rasul seperti Rasul kalian, Adam seperti Adam kalian, Nuh seperti Nuh kalian, Ibrahim seperti Ibrahim kalian, dan Isa seperti Isa kalian,” adalah bunyi kutipan tersebut.
Sejumlah ulama tafsir lain memang meragukan kutipan itu dengan menegaskan bahwa jika benar kutipan itu datang dari Ibnu Abbas, bisa jadi sumbernya dari tradisi israiliyat. Namun, kata Maududi, keberatan-keberatan tersebut lebih didasari pada belum lengkapnya ilmu pengetahuan pada masa-masa lalu.
Maududi kemudian mengutip ahli tafsir abad ke-19, Mahmud Alalusi yang mengatakan tak ada halangan intelektual maupun religius untuk mengambilnya (komentar Ibnu Abbas) sebagai kebenaran.
“Ia hanya berarti bahwa di tiap-tiap bumi, ada makhluk-makhluk yang menelusuri leluhur mereka seperti manusia menelusuri asal mulanya pada Adam.”