Assalamualaikum. Wr. Wb, Ikhbar.com dan Kiai Ghufron. Saya Abdurrahim, dari banyuwangi, Jawa Timur.
Saya ingin bertanya, apa hukum memblokade (menutup) jalan untuk menggelar hajatan/resepsi? Apakah ada prosedural yang harus ditempuh menurut fikih? Lalu, adakah solusi berdasarkan kacamata fikih terkait keterbatasan lahan dalam melaksanakan resepsi? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb. Terima kasih, Bapak Abdurrahim yang budiman, atas pertanyaannya.
Pada dasarnya dalam literatur fikih dijelaskan bahwa jalan umum tidak boleh digunakan untuk apapun yang bisa mengganggu orang lain yang melewatinya. Hal itu, seperti yang diterangkan dalam I’anatut Thalibin:
( فرع ) يحرم على كل احد غرس شجر فى شارع، مثله كل ما يضر المار فى مروره
“(Keterangan cabang) haram bagi setiap orang menanam pohon di tengah jalan dan melakukan sesuatu yang bisa mengganggu orang yang melintas.”
وانما حرم ذلك لانه قد تزدحم المارة
“Sebab diharamkannya perkara tersebut karena hal itu bisa mengganggu atau mempersempit ruang pengguna jalan.”
Begitu juga penjelasan dalam dan Khasyiah al-Jamal ‘ala Syarhi al-Manhaj:
( فصل ) الطريق النافذ لا يتصرف فيه ببناء ولا بما يضر مارا الى ان قال ( قوله ولا بما يضر مارا ) نعم يغتفر ضرر يحتمل عادة كعجن طين إذا بقي مقدار المرور للناس وإلقاء الحجارة فيه للعمارة إذا تركت بقدر مدة نقلها وربط الدواب فيه بقدر حاجة النزول والركوب
“Jalan umum itu tidak boleh digunakan untuk membuat bangunan dan tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang membahayakan atau mengganggu orang lewat. Namun, dimaafkan beberapa kemadharatan (hal yang mengganggu) yang dianggap lumrah oleh masyarakat, seperti mengolah tanah liat jika masih menyisakan ruang yang bisa dilewati atau meletakkan batu pembangunan kadar sementara waktu proses pemindahan kelahan bangunan. Begitu juga dengan memarkir kendaraan di pinggir jalan untuk sekadar menaikkan dan menurunkan penumpang.”
Baca: Jumlah Seserahan, Uang Dapur, hingga Biaya Resepsi Pernikahan Menurut Fikih
Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa menggunakan jalan umum untuk resepsi pernikahan dihukumi boleh karena penggunaanya tidak bersifat permanen alias hanya sementara. Itu pun, masih harus disertai beberapa catatan:
- Tidak menggunakan seluruh badan jalan (menyisakan area yang kira-kira cukup untuk dilalui pengguna jalan yang lain, baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan)
- Resepsi pernikahan di jalanan umum harus sudah menjadi tradisi yang dimaklumi masyarakat setempat
- Harus tersedia jalan alternatif atau status jalan bukan al-darb (jalan buntu)
- Mendapatkan izin dari otoritas atau aparat setempat
Meskipun begitu, sebaiknya resepsi dilakukan di tempat yang tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Dengan tujuan, jangan sampai kepentingan pribadi mampu mengalahkan atau mengganggu hak masyarakat umum. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.