Ikhbar.com: Tidak cuma menyasar warga Muslim, serangan brutal militer Israel di Gaza pada akhirnya juga mengancam keberadaan umat Kristen di Palestina.
Seorang pendeta dari Gereja Natal Lutheran Injili di Betlehem, Munther Isaac dari blak-blakan menyebut tindakan pemerintah zionis itu sebagai genosida.
“Ini adalah genosida. Israel memberitahukannya sendiri kepada dunia. Fakta sudah membuktikannya,” katanya, dikutip dari Arab News, Senin, 19 Februari 2024.
Baca: Apa Itu Genosida? Pasal Tuntutan atas Kekejaman Israel di Gaza
Angin surga
Menurutnya, perang juga berdampak besar terhadap puluhan ribu umat Kristen yang tinggal di Tepi Barat.
“Di Tepi Barat, banyak keluarga Kristen Palestina yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena ketakutan. Mereka melihat apa yang terjadi di Gaza dan berpikir, ‘bisa saja hal ini terjadi pada kami suatu hari nanti,” keluhnya.
“Kehidupan di sini sudah sangat sulit sebelum serangan 7 Oktober 2023. Dan sekarang jauh lebih sulit lagi karena banyak warga yang kehilangan pekerjaan setelah tidak ada lagi akses pariwisata. Kami sekarang diblokade dari Yerusalem,” katanya.
Meskipun Israel berulang kali berjanji akan menjadi pelindung umat Kristen di Timur Tengah, Isaac menganggapnya hanya “angin surga.” Sebab, rangkaian pengeboman di Gaza justru turut menyasar rumah-rumah jemaat, bahkan sejumlah bangunan gereja.
“Ada ilusi bahwa Israel memperlakukan umat Kristen dengan baik dan istimewa. Perang di Gaza telah memastikan bahwa hal tersebut adalah kebohongan,” kata Isaac.
“Kita jangan sampai lupa bahwa Israel menggunakan Alkitab hanya untuk membenarkan tindakannya,” tegas dia.
Salah satu buktinya, pengeboman di Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius di Gaza pada 19 Oktober 2023 telah merenggut nyawa sedikitnya 18 warga sipil Palestina. Dua bulan kemudian, penembak jitu Israel dilaporkan menembak dan membunuh seorang ibu dan anak perempuannya ketika mereka meninggalkan satu-satunya Gereja Katolik di Gaza.
“Setiap orang di Gaza adalah target. Umat Kristen berlindung di gereja karena mengira meraka akan aman, ternyata salah,” keluh Isaac.
Di sisi lain, Isaac mengaku tidak mengharapkan pengistimewaan atau belas kasihan dari Israel. Yang ia inginkan, Gaza sebagai rumah bersama yang penuh toleransi dan kekeluargaan antara warga Muslim, Kristen, dan Yahudi kembali aman dan terbangun.
Meskipun ia menyadari, bahwa tidak sedikit dari umat Kristen yang justru memberi dukungan Israel berdasarkan keyakinan teologisnya. Hal itu, katanya, menjadi penanda bahwa telah begitu banyak orang di dunia ini yang mengatasnamakan agama untuk membenarkan eksklusivitas, fundamentalisme, serta menolak hingga merampas hak-hak orang lain.
“Kami tidak pernah ingin diperlakukan secara istimewa. Kami hanya ingin perang ini berakhir. Kami cuma ingin tidak ada lagi penjajahan dan pendudukan,” tegas dia.
Baca: Konflik Gaza Bongkar Kedok Kebebasan Ekspresi di Barat
Kemunafikan Barat
Isaac juga mengapresiasi keberanian Afrika Selatan yang telah menyeret Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag. Menurutnya, hal itu jauh lebih terpuji ketimbang sebagian barat yang memilih diam, bahkan lebih memihak Israel.
“Negara-negara Barat yang selalu membanggakan hak asasi manusia dan hukum internasional malah menutup mata terhadap setiap peristiwa genosida di Gaza,” kata dia.
Dalam khotbah Natal Desember lalu, ia menyampaikan pesan emosional bertajuk, “Kristus di dalam Puing-puing.” Isaac mengecam segala pandang yang berbau kemunafikan, standar ganda, dan sikap diam yang dilakukan oleh pemimpin dan juga gereja-gereja di Barat.
“Mereka telah memanipulasi dan mengubah penjajah menjadi korban dan menyulap penindas seakan-akan tampak sebagai pihak terjajah,” ujar Isaac.