Ikhbar.com: Bagi pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi diimbau untuk tetap mematuhi lalu lintas. Hal itu dilakukan agar perjalanan menuju kampung halaman tetap nyaman dan aman. Pasalnya, tak jarang kecelakaan terjadi akibat kelalaian pengemudi terhadap aturan lalu lintas.
Etika berkendara dalam hukum positif Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di dalamnya tertuang kewajiban untuk mematuhi rambu lalu lintas sebagaimana tertuang dalam pasal 106 ayat 1 berikut:
“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan rambu perintah atau rambu larangan: marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan, tata cara penggandengan.”
Baca: Jangan Asal Batal Puasa, Pemudik harus Pahami Ketentuan Fikih Ini
Dilarang ugal-ugalan
Secara tidak langsung, tertib lalu lintas tersebut telah disinggung dalam QS. Luqman: 19. Allah Swt berfirman:
وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ
“Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, kata “ughdhudh” terambil dari kata “ghadhdh” yang memiliki arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna.
“Mata dapat memandang ke kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ‘ghadhdh,’ jika ditujukan kepada mata, kemampuan itu hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal. Demikian juga suara,” jelas Prof. Quraish.
Dengan perintah tersebut, kata Prof. Quraish, seseorang diminta untuk tidak berteriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan dan tidak harus berbisik.
Jika dikaitkan dengan tertib berlalu lintas, “berlaku wajar dalam berjalan” artinya seseorang diminta berkendara dengan kadar yang wajar atau tidak ugal-ugalan.
Baca: Doa-doa Mudik Lebaran
Demi kemaslahatan
Di sisi lain, jika umat Muslim menaati peraturan lalu lintas, berarti dia mengambil hal yang bermanfaat dalam kehidupan antarsesama. Hal itu selaras dengan QS. Al-A’raf: 145. Allah Swt berfirman:
… وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ
“… dan suruhlah kaummu berpegang padanya dengan sebaik-baiknya. Aku akan memperlihatkan kepadamu (kehancuran) negeri orang-orang fasik.”
Di sisi lain, tidak menaati rambu lalu lintas juga berarti telah melanggar keputusan pemerintah. Umat Muslim sudah seyogianya untuk mematuhi aturan pemerintah selama tujuannya untuk kemaslahatan dan bukan berupa hal yang haram.
Hal itu sebagaimana dijelaskan Syekh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Al-Masyhur dalam Bughyat al-Mustarsyidin:
والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة
“Kesimpulannya, wajib mentaati pemimpin dalam semua hal yang telah diperintahkan, secara lahir dan batin, selama bukan perkara haram atau makruh. Perkara wajib semakin wajib untuk ditaati, perkara sunah menjadi wajib, begitu juga perkara mubah jika mengandung kemaslahatan umum.”