Ikhbar.com: Oleh-oleh menjadi serba-serbi yang lazim diperhitungkan dalam pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Sebagian besar, bahkan seluruh jemaah haji asal Indonesia akan meluangkan waktunya untuk memburu cindera mata yang memungkinkan untuk dibagi ke sanak keluarga, tetangga, kerabat, dan banyak orang lainnya setiba di Tanah Air.
Membawa oleh-oleh usai bepergian jauh, termasuk berhaji, merupakan amalan sunah. Pendapat itu, salah satunya diungkapkan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab. Menurutnya, salah satu kesunahan Rasulullah Saw ketika pulang dari bepergian jauh adalah membawa oleh-oleh.
Terkait hal itu, Sayyidah Aisyah mengatakan:
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُهْدِ إِلَى أَهْلِهِ وَلْيُطْرِفْهُمْ وَلَوْ كَانَتْ حِجَارَةً
“Ketika salah seorang kalian kembali dari bepergian, maka hendaknya dia memberikan hadiah pada keluarganya. Hendaknya dia memberikan sesuatu pada mereka meski berupa batu.” (HR. Al-Baihaqi).
Baca: 150 Ribu Jemaah Haji Ilegal Diusir dari Arab Saudi
Dalam Faid al-Qadir, Imam Al-Munawi menjelaskan, hadis tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang pulang dari bepergian jauh atau dekat hendaknya untuk membawa buah tangan untuk keluarganya. Kata “keluarga” bisa dimaknai sebagai orang-orang yang berada di dalam tanggungan nafkah, atau pun orang lain, seperti tetangga dan sahabat.
Al-Munawi menegaskan, tujuan membawa oleh-oleh ialah agar dapat menyenangkan hati keluarga. Hadis tersebut bahkan menganjurkan seseorang untuk membawa oleh-oleh meskipun hanya berupa batu. Namun, batu yang dimaksud adalah batu unik atau menarik. Meski tidak memiliki nilai ekonomi, hal itu bisa membuat keluarga merasa takjub.
Memberi tahu waktu kepulangan
Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi juga mengimbau jemaah haji untuk memberi tahu jadwal kepulangannya kepada keluarga. Selain itu, ia juga mewanti-wanti agar jemaah tidak memilih waktu malam untuk pulang, kecuali jika berada di dalam rombongan besar yang sudah biasa datang pada malam hari.
Menurut Imam Nawawi, tujuan memberi kabar ketika hendak pulang dari haji adalah agar pihak keluarga dapat mempersiapkan dalam penyambutan. Dengan lebih dulu memberikan kabar, maka akan memberikan kenyamanan hati bagi keluarganya.
Sahabat Jabir ibn Abdullah meriwayatkan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah Saw melarang seseorang pulang dari bepergian dan kembali ke rumah di malam hari. Tujuannya agar hal itu tidak membuat mereka memiliki prasangka buruk atau mencari-cari kesalahan keluarga mereka.” (HR. Imam Muslim)
Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menegaskan bahwa pulang bepergian di malam hari dan tidak memberi kabar kepada keluarga adalah makruh.
Sementara itu, Imam Al-Shan’ani dalam Subul As-Salam menjelaskan, dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat Abdullah ibn Abi Rawahah pulang ke rumah pada malam hari. Saat itu, di rumahnya sang istri sedang bersama perempuan yang menyisir rambutnya.
Sahabat Abdullah menyangka perempuan itu adalah lelaki dan sempat mengacungkan pedang pada perempuan tersebut. Oleh karena itu, Nabi melarang pulang dari bepergian dan kembali ke rumah saat malam hari.