Ikhbar.com: Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Republik Indonesia (RI) diwarnai fenomena unik sekaligus menggelitik. Di berbagai tempat, persis di bawah Sang Saka Merah Putih, berkibar selembar bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami—simbol kru bajak laut dari serial animasi Jepang, One Piece.
Bagi sebagian orang, hal ini hanyalah euforia budaya pop. Namun, bagi pengamat yang lebih jeli, fenomena tersebut dapat dibaca sebagai sebuah “meme politik” yang sarat makna.
Ia menjadi bentuk kritik simbolik dari generasi muda yang merasa aspirasinya tak didengar, dengan meminjam semangat “perlawanan terhadap Pemerintah Dunia” dalam narasi One Piece untuk menyentil penguasa di dunia nyata.
Di tengah momentum refleksi 80 tahun kemerdekaan, fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Bagaimana Islam, melalui kacamata fikih, memandang tindakan tersebut? Apakah ini bisa disebut nasihat yang dibenarkan, atau justru pelecehan terhadap simbol negara yang diperjuangkan dengan darah dan air mata?
Untuk menjawab hal itu, Ikhbar.com berdiskusi dengan KH Ahmad Irsyad Al Faruq, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten, sekaligus pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Banten.
Lebih dari sekadar kain
Menurut Kiai Irsyad, sapaan akrabnya, bendera Merah Putih sangatlah terhormat. Ia bukan sekadar selembar kain berwarna, melainkan representasi dari kesepakatan luhur bangsa.
“Simbol negara, seperti bendera Merah Putih, dapat dianggap sebagai ijma’ jama’i (kesepakatan masyarakat bersama). Bendera juga disebut sebagai ramz li al-wathan (tanda jati diri bangsa),” ujarnya, kepada Ikhbar.com, Ahad, 17 Agustus 2025.
Karena statusnya sebagai simbol kehormatan dan jati diri, hukum menghormati bendera menjadi sebuah keharusan. Kewajiban ini, lanjutnya, merupakan bagian dari menjaga kehormatan bangsa sekaligus menghargai jasa para pahlawan.
Tradisi menghormati bendera sebagai simbol kehormatan pun memiliki akar sejarah panjang, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
“Dalam kitab Fatawi Al-Azhar (juz 10, hlm. 221), dikatakan bahwa tradisi menggunakan dan menghormati bendera sudah dilakukan oleh orang Arab pada zaman Nabi. Setiap kabilah memiliki bendera (al-liwa’/ar-Royah) sebagai bukti kehormatan dan jati dirinya. Nabi Muhammad sendiri diriwayatkan memiliki bendera berwarna hitam dan putih,” jelas Kiai Irsyad.
Dengan landasan historis dan yuridis tersebut, ia menegaskan, siapa pun yang berniat menghina bendera sebagai tanda jati diri bangsa, dengan cara apa pun, tidak diperbolehkan menurut kesepakatan ulama.

Baca: Fikih Kemerdekaan: Memaknai Kebebasan Hakiki dalam Islam
Batas-batas ekspresi
Lalu, bagaimana dengan pengibaran bendera fiktif dari serial One Piece? Kiai Irsyad menjelaskan, pada prinsipnya fikih tidak melarang pengibaran bendera lain selama tidak diniatkan untuk tujuan yang salah.
“Hukum mengibarkan bendera apa pun diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang menyalahi syariat, seperti syirik, maksiat, fitnah, makar, ataupun kata-kata yang dapat menimbulkan kegaduhan,” terangnya.
Namun, batasan itu menjadi tegas ketika tindakan tersebut bersinggungan dengan simbol negara.
“Jika proses pengibaran bendera fiktif mengandung unsur-unsur yang dilarang, termasuk melecehkan bendera Merah Putih, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Dalam fikih, hal itu biasa disebut dengan dzullu ahl al-‘alam (menghina penduduk/pemilik bendera Merah Putih, dalam hal ini warga Indonesia secara keseluruhan),” tegasnya.
Tindakan memposisikan Merah Putih lebih rendah daripada simbol fiktif, atau menggantikannya sama sekali, jelas termasuk kategori pelecehan yang dilarang.
Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri
Kebebasan berpendapat yang terikat adab
Para pelaku mungkin beralasan bahwa tindakan itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi. Islam memang menjamin kebebasan ini, yang dalam fikih dikenal dengan istilah hurriyyah al-qaul (kebebasan berpendapat). Namun, kebebasan ini tidaklah mutlak.
Mengutip Syekh Abd Al-Qadir ‘Audah dalam At-Tasyri’ Al-Jana’iy Al-Islamy, Kiai Irsyad menyatakan bahwa kebebasan berpendapat bersifat muqayyadah (terikat), bukan muthlaq (absolut).
Ada dua syarat utama agar sebuah ekspresi dapat dibenarkan:
1. Sesuai norma dan akhlak: Pendapat atau ekspresi harus disampaikan dengan cara yang sejalan dengan nilai-nilai norma, adab, dan akhlak mulia.
2. Tidak melanggar nash: Ekspresi tidak boleh menyalahi aturan yang telah digariskan Al-Qur’an dan Sunah, seperti melakukan fitnah, mencela, atau menghina individu.
Dalam konteks ini, jika simbolisasi bendera One Piece diniatkan untuk menyindir atau melecehkan pemimpin negara secara tersirat, ia bisa masuk dalam perbuatan yang diharamkan.
“Hal ini melanggar prinsip maqashid syariah, yaitu hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan individu). Dalam fikih, ini dikenal dengan as-Sabb at-Ta’ridhy (mengumpat secara tersirat) atau al-Ghibah at-Ta’ridhy (ghibah tersirat), yang keduanya diharamkan,” jelasnya, merujuk pada pandangan Imam Az-Zabidy.
Baca: Mendoakan Negara Aman Lebih Utama ketimbang Meminta Terhindar dari Kekafiran
Menghindari fitnah, menjaga persatuan
Kaidah penting lainnya adalah dampak sosial dari sebuah tindakan. Sekalipun suatu perbuatan tidak secara eksplisit dilarang, ia menjadi haram jika berpotensi memicu keresahan massal.
“Jika ekspresi publik dapat memicu fitnah, kegaduhan, kontroversi, atau keresahan di tengah masyarakat, maka tidak diperbolehkan,” tegas Kiai Irsyad.
Mengutip Syekh Muhammad Al-Khadimy dari mazhab Hanafi, ia menjelaskan bahwa ekspresi yang menimbulkan kekacauan hukumnya haram karena termasuk dalam tiga kategori berbahaya:
1. Fasad fi al-ardh (membuat kerusakan di muka bumi).
2. Idhrar bi al-muslimin (membahayakan sesama umat Islam).
3. Ilhad fi ad-Din (perbuatan yang melenceng dalam agama).
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Syukur, bukan kufur nikmat
Kiai Irsyad menegaskan bahwa menjaga simbol negara seperti Merah Putih bukan sekadar ritual seremonial, melainkan bagian tak terpisahkan dari keimanan.
“Menjaga simbol negara adalah cara kita menjaga nama baik bangsa, menghormati para pejuang kemerdekaan, sekaligus tanda syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah Allah berikan. Ini adalah kewajiban kita sebagai warga negara,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar setiap bentuk ekspresi pendapat dilakukan dengan cara yang baik.
“Barangsiapa melecehkan atau merendahkan—baik simbol negara maupun individu tertentu—hingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, maka ia termasuk orang yang berdosa (haram) dan tergolong kufur nikmat (mengingkari nikmat Allah),” pungkasnya.