Bullying dalam Al-Qur’an, Ciri Khas Pembangkang dan Pelaku Kezaliman

Ilustrasi bullying. Dok SHUTTERSTOCK

Ikhbar.com: Baru-baru ini warganet dibuat geram dengan beredarnya video aksi bullying atau perundungan yang dilakukan sejumlah siswa SMP kepada seorang temannya.

Dalam rekaman video yang diduga terjadi di Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap pada Selasa, 26 September 2023 itu, korban tampak ditendang beberapa kali oleh pelaku. Tak hanya itu, saat korban tengah duduk, pelaku yang sama juga kembali menendang korban hingga terjatuh. Kini, para pelaku dilaporkan sudah diamankan pihak berwajib.

Baru juga melandai, video aksi bullying dari kota yang sama kembali beredar. Dalam tayangan yang kali ini berdurasi 29 detik itu, tampak seorang siswa yang mengenakan seragam putih biru menganiaya temannya.

Kasat Reskrim Polresta Cilacap, Kompol Guntar Arif Setiyoko mengatakan, peristiwa tersebut dilakukan sehari sebelum video pertama. Ia menjelaskan lokasi dan para pelaku kekerasan itu diduga kuat berasal dari unsur yang sama.

Baca: Benarkah Bullying Justru Pererat Keakraban?

Bullying dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, setidaknya terdapat tiga term yang bisa mengarah pada pengertian bullying, yakni istihza, sakhr, dan talmiz. Ketiganya menunjukkan perilaku yang bertolak-belakang dengan sifat seorang Muslim sejati.

  1. Istihza

Secara tekstual, istihza berarti mengolok-olok. Kata tersebut tercantum dalam QS. Al-Hijr: 11. Allah Swt berfirman:

وَمَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

“Tidaklah datang seorang rasul kepada mereka, kecuali selalu memperolok-olokkannya.”

Imam At-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan, lafaz “mustahziun” pada akhir ayat ini adalah sebuah bentuk hinaan.

“Yakni setiap kali datang kepada mereka (orang munafik) seorang rasul yang diutus Allah Swt untuk mengajak mengesakan Allah dan taat kepada-Nya, mereka pasti menghina rasul yang diutus tersebut,” jelasnya.

  1. Sakhr

Sakhr memiliki makna merendahkan dan mengejek. Hal itu pernah disebutkan Al-Qur’an ketika menyinggung mereka yang mengejek Nabi Nuh ketika hendak membuat bahtera. Allah Swt berfirman dalam QS. Hud: 38.

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَۗ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَاٌ مِّنْ قَوْمِهٖ سَخِرُوْا مِنْهُ ۗقَالَ اِنْ تَسْخَرُوْا مِنَّا فَاِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُوْنَۗ

“Mulailah dia (Nuh) membuat bahtera itu. Setiap kali para pemuka kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, ‘Jika kamu mengejek kami, sesungguhnya kami pun akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami).”

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan, kalimat “intaskharuu” menunjukkan ejekan kaum kafir pada segala yang dilakukan Nabi Nuh. Termasuk, ketika membuat sebuah perahu. Kemudian dilanjutkan dengan redaksi “fainna naskharu minkum yang berarti; Maka sesungguhnya kamu pun mengejekmu.”

“Maksudnya adalah mengejek di sini menggambarkan sikap masa bodoh mereka terhadap apa yang dilakukan Nabi Nuh pada saat itu, lalu pada saat mereka ditenggelamkan, maka Nabi Nuh pun akan bersikap masa bodoh kepada mereka,” jelasnya.

Baca: Awal Mula Banjir Besar di Masa Nabi Nuh

  1. Talmiz

Talmiz artinya saling mencela. Lafaz tersebut seperti yang tercantum dalam QS. Al-Hujurat: 11. Allah Swt berfirman:

… وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik) setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”

Syekh Muhammad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menjelaskan, kalimat “wala talmizuu” memiliki arti larangan untuk mencela dengan ucapan atau isyarat secara tersembunyi.

“Kata ‘anfusakum‘ merupakan sebuah peringatan, bahwa seharusnya seorang mukmin yang berakal tidak akan pernah mencela dirinya sendiri, apalagi mencela orang lain. Sebab sejatinya manusia dengan sesama itu satu,” tulisnya.

Pendapat Al-Maraghi itu berpegang pada sabda Nabi Saw, “Orang-orang mukmin itu seperti halnya satu tubuh, jika salah satu bagian tubuh menderita sakit, maka seluruh akan merasakannya”.

“Dalam kehidupan masyarakat seharusnya kesadaran akan hal ini sudah terbentuk supaya lebih mempererat kesatuan,” tegasnya.

Baca artikel kami lainnya di Google News.