Ikhbar.com: Ada pemandangan berbeda pada penyelenggaraan Malaysia International Halal Showcase pada September 2023 lalu. Di antara stan dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Kuwait, berdiri sebuah kios yang mewakili Korea Selatan (Korsel), negara dengan sebagian besar masyarakatnya yang dikenal sebagai penyuka daging babi dan peminum alkohol.
Takjubnya lagi, stan tersebut berhasil dikerumuni banyak pengunjung lantaran inovasi halalnya yang dibilang baru, yakni menjajakan aneka produk dari mulai makanan, bejana rumput laut, hingga pembalut.
“Pasar makanan halal adalah samudra biru (berpeluang besar) dengan potensi pertumbuhan yang juga besar,” Kata Kepala Divisi Ekspor Makanan di Kementerian Pertanian, Pangan, dan Pedesaan Korsel, Lee Yong Jik, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Sabtu, 10 Februari 2024.
Baca: Brasil Ikut-ikutan Garap Wisata Halal
Peluang besar
Setelah menggemparkan dunia film, pertelevisian, dan musik pop, Korsel kini mengarahkan perhatiannya pada industri halal global. Mereka mulai membidik peluang konsumen dari sekitar 1,8 miliar populasi Muslim di seluruh dunia.
Gagasan Korsel itu sebenarnya bukanlah sebuah cita-cita yang ringan. Pasalnya, penduduk Muslim di Negeri Gingseng itu diperkirakan berjumlah tidak lebih dari 200.000 orang alias kurang dari 0,4% dari keseluruhan populasi Korsel.
Menurut Jik, iktikad melakukan ekspansi ke industri halal itu muncul seiring meningkatnya permintaan makanan khas Korea di Asia Tenggara. Fenomena itu tidak lain adalah akibat budaya pop Korsel yang kian populer dengan basis penggemar yang setia dan terus bertambah.
“Hal itu telah menjadikan Korea sebagai eksportir dengan peluang yang terus berpotensi menguntungkan,” katanya.
Oleh karena itu, Korsel merasa perlu untuk memenuhi permintaan para penggemarnya yang tetap memprioritaskan status kehalalan produk, terutama jenis masakan dan makanan.
Menyitat dari data DinarStandard, pengeluaran umat Islam untuk makanan halal mencapai 1,27 triliun dolar Amerika Serikat (AS) pada 2021 dan diproyeksikan mencapai 1,67 triliun dolar AS pada 2025.
“Pemerintah Korsel berupaya mendorong dunia usaha untuk memanfaatkan tren ini dengan memberikan bantuan mulai dari analisis bahan makanan, subsidi biaya sertifikasi, serta acara promosi untuk menghubungkan pembeli dan pemasok,” kata Jik.
Pada 2015, Presiden Korsel, Park Geun-hye telah menandatangani perjanjian dengan Uni Emirat Arab (UEA) demi mempromosikan bisnis mereka di pasar yang baru, termasuk di segmen makanan halal.
Di Daegu, kota terbesar keempat Korsel, pemerintah daerah juga telah mempelopori “Proyek Aktivasi Makanan Halal” yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah perusahaan bersertifikat halal di kota tersebut 10 kali lipat dan melipatgandakan ekspor menjadi 200 juta dolar AS pada 2028.
Lotte Foods, CJ CheilJedang, Daesang, dan Nongshim adalah sejumlah raksasa makanan Korea yang telah meluncurkan produk bersertifikat halal, mulai dari kimchi hingga kue beras.
Tahun lalu, Korsel juga mulai mengekspor daging sapi khas Korea, tetapi berlabel halal, yang dikenal dengan nama hanwoo. Mereka mendapatkan izin dan label halal tersebut dari pejabat urusan Islam di Malaysia.
Di sisi lain, Samyang Foods, salah satu produsen makanan terkemuka di Korsel telah berhasil mengekspor produk halal ke 78 negara, termasuk mi instan “Buldak Ramen” yang sangat populer. Bahkan, penjualan produk itu mencapai 200 juta dolar AS pada 2022 dan menyumbang sekitar 45% dari total ekspor. Sedangkan pada 2023, penjualan tersebut diperkirakan mencapai sekitar 270 juta dolar AS.
Selain industri makanan, para pemain di sektor “K-beauty” juga memanfaatkan peluang dan mengambil keuntungan dari tren ini. Produsen kosmetik Cosmax, misalnya, perusajaan yang berkantor pusat di Seoul ini telah mengeluarkan produk halal di Indonesia sejak 2016.
Ketua Asosiasi Halal Korea (KOHAS), Saifullah Jo mengungkapkan, meskipun produk-produk Korsel memiliki peluang dan diminati banyak konsumen, tetapi mereka masih memiliki kendala dalam menjalani proses sertifikasi halal, terutama bagi perusahaan kecil.
“Langkah pertama adalah menentukan apakah produk Anda halal?” kata dia.
Jo, yang merupakan warga negara Korsel asli beragama Islam mendirikan lembaga konsultan sekaligus pengesah kehalalan produk bagi perusahaan dan telah menerjemahkan buku tentang halal ke dalam bahasa Korea.
“Hanya karena sebuah perusahaan meminta sertifikasi, bukan berarti kami akan langsung mengabulkannya. Beberapa orang datang kepada kami untuk mencari sertifikasi, tetapi tidak selalu praktis,” kata Jo.
“Kita perlu mempertimbangkan audiens dan perlunya sertifikasi,” tambahnya.
Mereka memahami bahwa keharaman hanya menyasar produk beralkohol, berbahan darah, daging babi, hewan yang tidak disembelih dengan benar, dan daging hewan yang mati sebelum disembelih. Padahal, barang-barang yang tampaknya tidak berbahaya seperti beras dan air mineral di Korsel juga perlu disertifikasi halal.
“Kompleksitas muncul dalam proses produksi. Misalnya, ketika beras dipisahkan dari sekam dalam proses penggilingan, mesin yang terlibat mungkin menggunakan pelumas dan beberapa minyak mungkin mengandung bahan yang berasal dari hewan,” kata Jo.
“Hal ini menyebabkan kontaminasi silang dan menghadirkan tantangan dalam memastikan produk akhir memenuhi persyaratan halal,” ungkapnya.
Jo menambahkan, hal itu akan semakin rumit jika hendak dipasarkan ke Indonesia yang merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Per Oktober tahun lalu, telahb diumumkan bahwa setiap perusahaan makanan wajib memiliki sertifikat halal dari Indonesia.
Baca: Sentimen Anti-Islam di Amerika Serikat Meningkat
Tidak ramah Muslim
Tantangan Korsel dalam upaya ekspansi ke industri halal berikutnya adalah sikap masyarakat mereka terhadap populasi Muslim dan budaya Islam yang sering kali tidak begitu bersahabat, bahkan musuh.
“Muslim di Korsel dipandang dengan sikap apatis, malah dengan ketakutan,” kata asisten profesor di Universitas Keimyung, Farrah Sheikh.
Malahan, Sheikh mengatakan bahwa sebagian masyarakat Korea justru menganggap produk halal sebagai ancaman bagi mereka.
“Di Daegu, ketika para pejabat secara agresif mengejar pasar Muslim, rencana untuk membangun sebuah masjid di sana justru mendapat penolakan dari kelompok Kristen konservatif,” katanya.
Pada Agustus 2023, pelapor Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyatakan keprihatinannya secara serius kepada pemerintah Korsel atas dugaan kegagalan mereka dalam mengatasi kampanye menentang pendirian masjid, termasuk pemajangan kepala babi di luar lokasi pembangunan dan spanduk yang menggambarkan Islam sebagai “agama teroris.”
Menurut Sheikh, seiring pemerintah mulai mempromosikan industri halal pada 2015, beberapa kelompok Kristen mulai memperingatkan tentang isu “Islamifikasi.” Dugaan masuknya umat Islam dan kekhawatiran tentang risiko keamanan yang terkait dengan makanan halal membuat pemerintah mengeluarkan dokumen klarifikasi dan penjelasan untuk menghilangkan informasi yang salah tentang hal tersebut.
Pada 2016, usulan pembangunan kawasan industri untuk produk bersertifikat halal di kota Iksan di bagian barat juga gagal karena mendapat penolakan dari kelompok Kristen. Pada tahun yang sama, merek keripik kentang buatan Malaysia juga dirundung kontroversi karena memiliki label halal pada kemasannya.
“Pada 2018, Korsel juga dilanda protes terhadap kedatangan beberapa ratus pencari suaka Muslim dari Yaman. Pada tahun yang sama, rencana pembangunan musala di Olimpiade Musim Dingin dibatalkan, menyusul protes keras dari para aktivis anti-Muslim,” kata Sheikh.
Sheikh, mengatakan gagasan perusahaan-perusahaan Korea yang ingin turut ambil keuntungan dalam industrin halal tidak dapat disalahkan.
“Namun, ketika kita melihat sikap masyarakat Korea terhadap komunitas Muslim, pengungsi Muslim, atau seperti yang kita lihat di Daegu, kita menyaksikan kesenjangan yang jelas dan masalah sosial yang besar,” katanya.