Ikhbar.com: Al-Qur’an tidak sekadar berisi penjelasan tentang ibadah, di dalamnya juga mengatur hal ihwal bermuamalah, termasuk ijarah atau sewa-menyewa.
Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad dalam Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar menjelaskan, ijarah menurut ulama syafi’iyah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu, yang bisa diberikan serta dibolehkan dengan imbalan.
Dasar sewa-menyewa telah disinggung dalam Al-Qur’an, salah satunya pada QS. Al-Baqarah: 233. Allah Swt berfirman:
… ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“…Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Baca: 9 Perbedaan Saham Syariah dan Konvensional
Mengupah dengan ma’ruf
Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir menjelaskan, diperbolehkan seorang ibu meminta perempuan lain untuk menyusui anaknya jika memang ia mengalami kendala, asalkan pihak yang meminta tadi memberi upah atas jasa tersebut sesuai dengan lamanya waktu menyusui.
“Memberikan upah harus dengan cara yang ma’ruf. Maksudnya adalah tidak menunda-nunda atau mengurangi upah tersebut,” jelas Syekh Sulaiman.
Menurutnya, jika tidak memberi upah secara baik kepada mereka yang diminta menyusukan anak, maka hal itu menunjukkan bahwa sang ayah meremehkan dan lalai dalam urusan sang buah hatinya.
“Selain itu, maksud lain dari kata ‘ma’ruf’ dalam ayat tersebut adalah tidak ada unsur madharat bagi ibu kandung. Dibolehkannya meminta orang lain menjadi ibu susu untuk sang anak itu dengan syarat tidak memberikan madharat kepada ibu kandung, sebagaimana dijelaskan diawal ayat,” katanya.
Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan
Sewa properti
Ayat tentang ijarah juga tercantum dalam ayat lainnya, yakni pada QS. Al-Qashash: 26. Allah Swt berfirman:
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, ‘Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Syekh Abdurrahman ibn Nashir Al-Sa’di dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan menjelaskan, Nabi Musa As yang dikisahkan dalam ayat tersebut merupakan orang profesional yang pantas untuk diangkat menjadi pegawai.
Menurutnya, Nabi Musa As memiliki dua kriteria profesionalitas, yaitu kuat dan amanah. Sedangkan dalam konsep dan realitas pegawai yang andal adalah yang mampu memiliki dua kriteria profesionalitas tersebut secara sinergis-organik.
“Kekuatan tiada lain merupakan kesanggupan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik. Sedangkan amanah adalah perilaku tidak khianat dalam menunaikannya,” jelas Syekh As-Sa’di.
Ia menegaskan, kedua kriteria profesionalitas tersebut wajib diperhatikan pihak mana pun yang hendak mempekerjakan dan mengupah orang lain sebagai pegawainya. Prinsip tersebut perlu diterapkan ke berbagai bidang profesi apapun yang legal.
Dari dua ayat tersebut, sekilas dipahami bahwa jenis ijarah atau sewa yang dijelaskan hanya di sektor tenaga saja. Namun, pada praktiknya, ada juga jenis sewa yang lain, yaitu barang atau tempat. Hal itu seperti hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim berikut ini:
كنا نكرى الأرض بما على السواقي من الزرع فنهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذالك وامرنا ان نكر بها بذهب او فض
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dengan hasil tanaman yang tumbuh di sana. Rasulullah lalu melarang cara yang demikian dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak.”