Ikhbar.com: Raja Mesir, Ar-Rayan bin Al-Walid dilanda gusar luar biasa. Ia begitu khawatir tentang mimpi yang baru saja dialaminya. Tujuh ekor sapi gemuk, dilumat habis sapi berbadan kurus. Muncul pula mimpi yang menampakkan tujuh bulir gandum hijau dan tujuh bulir lainya yang kering.
Raja menduga, mimpinya itu sarat ramalan, bukan sekadar bunga tidur yang nihil pesan.
Demi menenangkan pikirannya yang kian berkecamuk, Ar-Rayan pun mengumpulkan para ahli dan juru tafsir mimpi di istana. Anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang mampu menerjemahkan dengan detail, saksama, dan berhasil menunjukkan makna.
Sudah barang tentu, raja tak puas dengan jawaban-jawaban mereka. Dia pun kembali mencari tahu siapakah yang mampu menafsirkan mimpinya dengan baik. Hingga seorang pelayan tampil dan menyebut satu nama yang dikenal mahir dalam menafsir mimpi.
Setelah melapor ke hadapan raja, pelayan itu langsung bergegas menemui Nabi Yusuf As yang masih dipenjara. Kepadanya, si pelayan itu kemudian menceritakan segenap mimpi yang dialami rajanya.
Thabathaba’i sebagaimana dikutip Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan, mimpi tersebut memang bukan mimpi sederhana yang hanya memuat informasi, bahkan, lebih merujuk pada perintah untuk melaksanakan sesuatu.
Tanpa ragu, Nabi Yusuf mengartikan bahwa mimpi tujuh ekor sapi betina yang gemuk itu bermakna adanya perintah dari Allah Swt untuk bercocok tanam selama tujuh tahun agar negara memiliki cadangan pangan yang melimpah.
Nabi Yusuf menjelaskan, pekerjaan bercocok tanam itu harus segera dilakukan karena tujuh tahun kesuburan saat itu akan segera berganti dengan tujuh tahun masa paceklik.
Mimpi sang raja pun berhasil ditakwil Nabi Yusuf. Dia juga menjelaskan bahwa bulir-bulir gandum dalam mimpi sang raja merupakan simbol pertanian. Dalam mebafsirkan mimpi tersebut, Nabi Yusuf tidak mengada-ada. Segala penjelasan yang muncul tak lain berasal dari wahyu Allah Swt.
Baca: Fikih Hemat Air, Berkaca dari Krisis di Malaysia
Lewat penerjemahan mimpi tersebut, Nabi Yusuf memberikan masukan kepada raja berupa perencanaan strategis untuk membangun ketahanan pangan yang kuat, yaitu dengan memperoduksi massal gandum kemudian dilakukan manajemen stok pangan dengan baik. Kisah Nabi Yusuf itu, termaktub dalam firman Allah Swt:
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ (47) ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ (48)
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan.” (QS. Yusuf: 47-48)
Raja Ar-Rayan akhirnya menerima saran Nabi Yusuf dengan senang hati. Ketika masa paceklik melanda Mesir, masyarakat pun tetap tentang lantaran mereka mempunyai banyak cadangan makanan dalam lumbungnya.
Selain strategi peningakatan produktivitas tanam dan juga memanajemen stok pangan, Nabi Yusuf juga memberlakukan strategi memberdayakan hidup hemat dalam mengonsumsi makanan. Taktik ini diberlakukan untuk membatasi frekuensi konsumsi makanan sehingga mampu menjaga kestabilan pola konsumsi gandum dalam tiga fase pembagian musim, yakni musim hujan, kemarau, dan musim hujan berikutnya.
Selama masa itu, baik raja, rakyar Mesir, maupun Nabi Yusuf hanya memakan gandum satu kali dalam sehari. Dengan cara-cara itu, Nabi Yusuf pun akhirnya berhasil memitigasi masa krisis dan menyelamatkan rakyat Mesir dari kelaparan.