Daftar Sikap Bijak Khalifah Umar saat Didemo Rakyat

Khalifah Umar tidak defensif ketika rakyat menggugat. Ia tidak menjadikan kritik sebagai ancaman bagi wibawanya. Ia mendengar, menimbang, dan berani mengubah keputusan.
Ilustrasi Khalifah Umar bin Khattab saat dikoreksi sahabat perempuan. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Belakangan ini, suara rakyat kerap bergema di jalanan. Demonstrasi menjadi wadah nyata ketika kebijakan dianggap melukai rasa keadilan. Orang-orang berkumpul, mengangkat poster, menyuarakan keresahan, dan berharap pemerintah membuka telinga.

Aksi massa bukan hal asing. Demonstrasi menjadi tanda bahwa rakyat masih percaya pada kekuatan suara mereka. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya seorang pemimpin menyikapi kritik?

Sejarah Islam menyimpan teladan berharga. Umar bin Khattab, khalifah kedua yang dijuluki Al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kezaliman) pernah menghadapi momen serupa. Umar dikenal bukan hanya sebagai penakluk wilayah luas, tetapi juga sebagai pemimpin yang siap dikritik rakyatnya. Setiap kali kritik datang, ia menyambutnya dengan kebijaksanaan yang sulit ditemukan pada banyak penguasa sepanjang zaman.

Baca: Khalifah Umar Tolak Fasilitas Negara

Kala perempuan mengoreksi sang khalifah

Dalam sebuah khutbah, Khalifah Umar pernah menyampaikan niat untuk membatasi besaran mahar. Ia menilai tradisi mahar yang terlalu tinggi dapat memberatkan masyarakat. Namun, dari tengah jamaah, seorang perempuan berdiri dan berkata lantang:

وَإِنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 20)

Sang khalifah pun terdiam. Umar sadar kebijakan yang hendak diambil bertentangan dengan firman Allah. Dengan rendah hati ia berkata, “Perempuan itu benar, Umar yang salah.” Kisah ini tercatat dalam Tafsir Al-Qurthubi ketika menjelaskan kandungan makna dalam ayat tersebut.

Sebuah adegan sederhana, tetapi sarat makna. Seorang khalifah bisa dikoreksi oleh rakyat biasa, dan ia rela menarik ucapannya di hadapan umum.

Baca: Anak Kecil yang Tak Gentar dengan Khalifah Umar

Tuduhan nepotisme yang terbantahkan

Suatu hari, Khalifah Umar mengenakan jubah panjang dari kain yang dibagikan kepada rakyat. Seorang lelaki bangkit di tengah kerumunan dan bertanya dengan nada curiga: “Wahai Umar, bagaimana engkau bisa memakai jubah sepanjang itu, sementara jatah kain untuk setiap orang hanya sepotong?”

Itu tuduhan serius, mirip dengan rakyat yang menuding pejabat menyalahgunakan fasilitas. Umar tidak marah, tidak membungkam penanya. Ia justru memanggil putranya, Abdullah bin Umar, yang menjelaskan bahwa kain ayahnya digabung dengan kain miliknya, sehingga cukup untuk sebuah jubah.

Umar tidak perlu retorika panjang, cukup transparansi. Publik pun tenang.

Baca: Fikih Demonstrasi: Antara Kebebasan Bersuara dan Akhlak Massa

Mengubah kebijakan karena desakan publik

Khalifah Umar juga dikenal sebagai sosok yang sangat berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang menyangkut harta umat. Dalam catatan Tarikh Al-Tabari, ia pernah berencana mendistribusikan harta rampasan perang dengan aturan tertentu. Namun, sejumlah sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan, menilai kebijakan itu bisa menimbulkan ketidakadilan.

Alih-alih bersikeras, Umar mengurungkan niatnya. Ia memilih musyawarah ulang dan merumuskan sistem diwan (semacam daftar penerima hak) yang lebih adil. Sikap ini menunjukkan bahwa bagi Umar, koreksi dari rakyat atau sahabat adalah jalan memperbaiki kebijakan.

Ketika rakyat mengeluh soal harga pangan

Masa kekhalifahan Umar tidak lepas dari krisis. Suatu ketika, rakyat mengeluhkan harga pangan yang melambung. Umar bisa saja mencari kambing hitam atau menutup telinga. Namun yang ia lakukan justru menurunkan standar hidupnya sendiri.

Dalam catatan Ali Muhammad Al-Sallabi dalam Al-Faruq, Umar berhenti makan daging berlebihan agar tidak ikut mendorong harga semakin tinggi. Ia hanya menyantap roti kering dan minyak zaitun. Baginya, bila rakyat hidup susah, ia pun harus merasakan hal yang sama.

Baca: Ayat-ayat Panduan Demonstrasi

Umar menyamar di malam hari

Kisah lain yang sering dituturkan adalah kebiasaan Umar berkeliling kota pada malam hari. Ia menyamar, mendatangi rumah-rumah rakyat, mencari tahu apakah ada yang kelaparan. Suatu malam, ia menemukan sebuah keluarga dengan anak-anak menangis karena lapar. Sang ibu hanya memasak batu agar anaknya terhibur oleh suara mendidih.

Umar menangis, lalu bergegas memanggul gandum di pundaknya sendiri dari baitul mal. Ia menolak dibantu pelayannya. “Apakah engkau mau memikul dosaku di hari kiamat?” katanya.

Adegan ini menggambarkan bahwa bagi Umar, kritik terbesar bukan hanya yang disuarakan di masjid atau pasar, tetapi juga tangisan rakyat miskin di dalam rumahnya.

Baca: Kisah Reshuffle Mengagumkan di Masa Kejayaan Islam

Pesan untuk pemimpin di masa kini

Semua fragmen itu memperlihatkan pola yang sama: Umar tidak defensif ketika rakyat menggugat. Ia tidak menjadikan kritik sebagai ancaman bagi wibawanya. Ia mendengar, menimbang, dan berani mengubah keputusan.

Di Indonesia hari ini, demonstrasi kerap dipandang sebagai gangguan. Rakyat yang turun ke jalan sering dicurigai punya motif politik. Padahal sejarah telah membuktikan bahwa kritik rakyat adalah penguat bagi pemerintahan.

Umar bin Khattab sudah memberi teladan, bahwa keberanian terbesar seorang pemimpin bukanlah memenangkan perdebatan, melainkan mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

Aksi massa di negeri ini mungkin akan terus berlangsung. Kadang gaduh, kadang keras, tetapi selalu membawa pesan bahwa rakyat ingin didengar. Jika para pemimpin bangsa mau meneladani Umar, mereka akan tahu bahwa kehormatan tertinggi adalah rendah hati di hadapan rakyat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.