Pisah Sambut Puasa dan Raya

Ilustrasi hilal Syawal. Dok Pixabay

Oleh: H. Sobih Adnan (Mudir Aam Ikhbar Foundation)

DI malam paling akhir bulan Ramadan, langit, bumi, dan para malaikat menangis. Mereka iba kepada umat manusia. Lantaran masa-masa pengampunan nan penuh berkah rampung sudah.

Karena hanya saat Ramadanlah, kata Nabi, segala doa diijabah, semua sedekah diterima, aneka kebaikan dilipatgandakan pahalanya, dan siksa neraka dijeda. Rasulullah pun menyimpulkan, jika saja manusia tahu betapa istimewanya Ramadan, niscaya mereka ingin di sepanjang masa hidupnya hanya terdiri dari bulan yang sama.

Raut kesedihan saat melepas kepergian Ramadan ini lazim tampak dari wajah generasi emas Islam. Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud, ialah dua sahabat Nabi yang terlihat paling gundah gulana bercucur air mata di saat Ramadan mulai menemui tanggal-tanggal terakhirnya.

Namun, yang menarik adalah ungkapan kesedihan ini sungguh bertembok tipis dengan anjuran berbahagia di satu hari setelahnya. Di saat Idulfitri tiba, umat Islam patutlah menampilkan wajah semringah. Nabi berkata, muslim punya dua hari raya. Idulfitri adalah hari orang-orang berbuka puasa. Sementara Iduladha ialah momentum seorang hamba mempersembahkan kurban terbaiknya.

Ujung Ramadan adalah awal Syawal alias malam Lebaran. Kesedihan sekaligus kegembiraan di malam itu sungguh akrab menghinggapi dada umat Islam. Barangkali, penggalan novel fiksi Dewi Lestari, Supernova 4: Partikel (2012) bisa mewakili perasaan seperti ini. Yang katanya, “Kesusahan, kegembiraan, ketika keduanya lewat bersamaan, sensasinya akan sama.”

Akan tetapi, Islam sedikit berbeda dalam memaknai akar dan hikmah dari kesedihan, pun kegembiraan. Kesedihan yang disambut kegembiraan itu mesti dipahami sebagai amanat peningkatan ketakwaan.

Filsuf Muslim, Al-Kindi menyebut kesedihan adalah dampak dari ‘faqd al-mahbub wa faut al-mathlub (Hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba). Selain Tuhan adalah fana. Maka mencintai Sang Pencipta waktu, sebenar-benarnya penghapus rasa pilu.

Di sisi lain, kesedihan cenderung menempa seseorang untuk berlaku lebih baik. Kesedihan adalah inspirasi. Berjuta karya berharga bukankah kerap lahir dari luka yang diberi makna. Filsuf Yunani, Epicurus dan dramawan besar William Shakespeare, misalnya, mampu menciptakan teori, ideologi, dan tulisan-tulisan berdasarkan tragedi dan rasa sedih.

Maka bersedihlah, lalu bergembiralah. Seperti Jalaluddin Rumi yang mengiaskan Ramadan sebagai Maryam, sementara Lebaran dikata Isa. Lantas, dalam gazalnya dia bersyair, “Tak perlu kau bersedih, meskipun harus kehilangan Maryam. Sebab cahaya Isa; datang menyinari.”

Baca artikel kami lainnya di Google News.