Oleh: Sofhal Adnan, al-Hafiz (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
FUNGSI politik dalam Islam adalah untuk mengatur segala urusan rakyat secara tuntas dan menyeluruh. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengutuk terhadap seseorang yang melalukan segala cara dan membabi buta demi merebut kekuasaan.
Al-Qur’an pun memberikan petunjuk agar sistem politik berjalan sesuai dengan fungsinya.
Adil dan amanah
Prinsip berkeadilan ini sangat penting diterapkan dalam sebuah pemerintahan. Prinsip tersebut seperti yang disinggung dalam QS. An-Nisa: 58-59.
Saking pentingnya, dalam Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), disebutkan bahwa seorang pakar tafsir Al-Qur’an, Rasyid Ridha berpendapat, “Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal pemerintahan, maka ayat itu telah amat memadai.”
Ada banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang adil, maknanya pun beragam. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata ‘adl, yakni ada juga qisth, dan hukm.
Sedangkan kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjungtifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu. Misalnya kata ta’dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan.
Sedangkan ada yang berpendapat bahwa QS. An-Nisa: 58 menjelaskan secara khusus tentang amanah.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barang siapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya”
Dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus menjalankan amanat yang telah dibebankan kepadanya. Menurutnya, ayat ini secara khusus ditunjukan untuk Nabi Saw perihal kunci ka’bah. Saat itu, Nabi mengambilnya dari Utsman bin Abu Talhah yang keduanya masih kafir ketika fathul Makkah, lalu Al-Abbas bin Abdul Muthlaib memintanya dari Rasulullah untuk melayani pembagian air Zamzam, kemudian Rasulullah masuk ke dalam ka’bah dan menghancurkan patung-patung dan mengeluarkan maqam Ibrahim hingga datanglah Jibril dengan ayat ini.
Al-Qurthubi menegaskan, ayat ini berlaku bersifat umum untuk setiap orang, yaitu ditunjukan untuk wali agar berlaku amanah dalam pembagian harta dan melawan kezaliman serta berlaku adil dalam perkara hukum.
Musyawarah
Prinsip musyawarah sangat kental kaitannya dengan sejarah perpolitikan Islam. Misalnya, saat pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw wafat. Itu pula yang dilakukan ketika pengangkatan Umar bin Khattab menjadi khalifah setelah Abu Bakar, begitu pula khalifah-khalifah setelahnya.
Prinsip musyawarah sendiri tergambar jelas dal QS. Ali Imran: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”
Dalam menjelaskan ayat ini, Al-Qurthubi menukil perkataan Ibnu Kwarizi Mandad yang mengatakan bahwa para pemimpin wajib bermusyawarah dengan para ulama dalam perkara-perkara agama yang tidak mereka ketahui dan terasa sulit bagi mereka.
Misalnya, bermusyawarah dengan para komandan perang dalam perkara yang berhubungan dengan perang, bermusyawarah dengan para tokoh masyarakat yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, dan bermusyawarah dengan para tokoh notaris, para menteri, dan para pekerja dalam perkara yang berhubungan dengan kemaslahatan negeri juga untuk kemakmurannya.
Prinsip musyawarah dengan melibatkan pihak lain ini dijelaskan dalam QS. An-Naml: 32 berikut:
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّىٰ تَشْهَدُونِ
Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)”.
Keadilan sosial
Prinsip berpolitik dengan menerapkan prinsip keadilan sosial ini begitu penting. Pasalnya, keadilan ini harus benar-benar dirasakan setiap suku, ras, agama.
Prinsip keiadilan ini seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Maidah: 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ibnu Katsir mengatakan, untuk berbuat adil tidak hanya ditujukan kepada teman saja, tetapi untuk musuh sekali pun harus diperlakukan dengan adil. Hal ini dikarenakan perbuatan yang adil merupakan jalan untuk mencapai ketakwaan di sisi Allah Swt.