Oleh: H. Sobih Adnan (Mudir Aam Ikhbar Foundation)
SENIN pagi, 4 April 1892, warga Batavia disuguhi berita cukup kocak. Pasalnya, Koran Pembritaan Betawi yang biasanya menyajikan hasil wawancara dengan pejabat, tokoh, atau orang-orang yang dinilai terhormat, kali ini malah memuat keluh kesah pencuri yang terang-terangan mengaku kehilangan pemasukan selama Ramadan.
“…bapa maling koerang dapet redjeki lantaran ini boelan, sebab banjak orang jang berdjalan moendar mandir kesana-kemari,” tulis halaman depan surat kabar yang terbit sejak 1884 itu.
Maling tak bisa berkutik, lanjut berita itu, karena suasana malam di kampung-kampung selalu hidup di sepanjang bulan suci. Pencuri, yang biasa beroperasi di malam hari tentu kehilangan lapak. Bahasa waktu itu menyebut, antjak.
“Selamanja boelan Poeasa pentjoeri koerang dapet antjak, oleh kerna orang-orang kampoeng jang mana poeasa tentoe banjak bikin pelesiran di waktoe malem. Dari sore hingga sampe poekoel 2 malem, aken dia orang masi begadang sadja, dan dia orang masing-masing pada mendjahit barang pakeannja, boeat nanti dia orang poenja lebaran, dan ada jang makan saoer.”
Profesi tua
Tidak ada data pasti kapan dan siapa maling yang pertama kali tepergok di jagat raya ini. Yang nyaris bisa dibenarkan, profesi rendahan itu sudah terbilang tua. Hampir di setiap masa dan lokasi mencatatkan ceritanya tersendiri.
Masih di masa pemerintahan kolonial Belanda, misalnya, ternyata aksi pencurian bukan cuma perkara yang mungkin dilakukan oleh orang-orang berkekurangan. Surat Kabar Kaoem Muda edisi 1 Maret 1940 memberitakan, tindakan mengambil hak orang lain ini justru dilakukan para anak bangsawan Belanda sendiri. Para sinyo itu, bahkan lebih terorganisir. Mereka membentuk sebuah perkumpulan maling dengan sebutan ‘De Wrekende Hand’.
“Di dalamnya terdapat siswa Lagere School (sekolah untuk anak Eropa) yang kerap membolos dan prestasi akademiknya buruk,” terang koran tersebut sebagaimana dikutip Petrik Matanasi, dalam Para Jagoan: Dari Ken Arok sampai Kusni Kasdut (2011).
Malah sebaliknya, orang-orang Jawa kerap membuat kompeni takjub perihal perilaku. Soal ini, pernah diceritakan pegawai sipil progresif Belanda bernama G.L. Gonggrijp. Pada Desember 1911, dia bersaksi penuh bahwa di wilayah-wilayah yang terjadi interaksi antara pribumi dan budaya Eropa, orang-orang Jawa amat terlihat jujur.
“Misalnya, di Banten Selatan, Priangan, atau Banyuwangi, tindakan pencurian sama sekali tak dikenal,” tulis Frances Gouda menceritakan pengalaman Gonggrijp, dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (2007).
Di Banyuwangi, sebagaimana diingat Gonggrijp, penduduk desa yang kehilangan sesuatu dalam perjalanan menuju ke sawah atau pasar terdekat, akan kembali menelusuri jalan mereka. Untuk apa? Karena biasanya, barang yang hilang itu akan tergantung di pohon beberapa saat kemudian.
“Ditinggalkan orang lain yang menemukan sebelumnya dalam keadaan utuh,” tulis Gouda.
Alat perlawanan
Pemerintah Kolonial Belanda maupun VOC, pada praktiknya tentu lebih dari sekadar mencuri. Mereka menguras, memeras, dan merampok kekayaan alam Indonesia selama ratusan tahun.
Ketimpangan parah antara penduduk pribumi dan keluarga pejabat Belanda dalam beberapa kasus menjadi faktor maraknya tindak pencurian. Bahkan, di beberapa wilayah muncul jagoan-jagoan yang menggunakan teknik ‘mencuri’ sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan penjajah.
Yang tak kalah masyhur, cerita Si Pitung dari Betawi. Beberapa epos menuliskan, ia tak segan menodong kompeni dan meminta paksa harta yang dimiliki untuk dibagikan kepada para kaum duafa.
“Si Pitung sendiri ketika diekskusi Belanda pada 1894 hanya meninggalkan uang 15 ringgit. Perampok yang ditakuti kompeni ini tidak beristri, tidak suka main perempuan, tidak ngetop (berjudi), meskipun bukannya orang alim,” tulis Alwi Shahab, dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).
Semangat Pitung tidak padam. Sejarawan Betawi yang karib disapa Abah Alwi itu melanjutkan, gerakan perlawanan jenis ini kemudian diteruskan generasi berikutnya. Sebut saja, Haji Entong Gendut yang memimpin pemberontakan di Tanjung Timur pada 1916.
“Pada revolusi fisik (1945-1950), para jago Betawi merupakan pahlawan yang berjuang di garis depan melawan Belanda. Seperti Sabeni dan Derahman Jeni, dua jago Tanah Abang,” tulis Abah Alwi masih dalam buku yang sama.
Lantas, seperti apakah wajah para pencuri pada puasa tahun ini? Jawabannya, maling-maling modern itu juga rupanya sedang pening bukan kepalang. Lantaran anaknya balagu atau kebiasaan istri yang pamer melulu, mereka pun kini tengah ditsunami rasa resah, ngeri tiba-tiba diciduk lembaga antirasuah. Wallahu a’lam.