Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Ikhbar.com)
KEGEMBIRAAN adalah salah satu emosi paling murni yang dapat menyatukan manusia dalam harmoni. Dalam konteks keagamaan, kegembiraan tidak hanya menjadi ekspresi perasaan, tetapi juga cerminan spiritualitas yang mendalam.
Kegembiraan ini mencerminkan rasa syukur atas kesempatan untuk menjalani bulan suci yang penuh berkah. Ramadan hadir sebagai momentum untuk membersihkan jiwa, memperkuat hubungan sosial, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tradisi kegembiraan ini juga terlihat dalam berbagai aktivitas masyarakat, seperti persiapan menu berbuka puasa, dekorasi rumah dengan lampu-lampion, hingga berkumpul bersama keluarga saat magrib tiba. Di tengah dinamika modern, kegembiraan Ramadan juga menjadi wujud toleransi dan harmoni sosial yang menginspirasi banyak kalangan.
Baca: Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 183: Cara Puasa Umat Terdahulu
Manifestasi iman
Dalam Islam, kegembiraan atas kedatangan Ramadan adalah wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Bulan suci ini dipandang sebagai kesempatan emas untuk membersihkan diri dari dosa, meningkatkan amal ibadah, dan mempererat hubungan dengan sesama.
Rasulullah Muhammad Saw dikenal sangat bergembira ketika Ramadan tiba. Beliau bersabda:
“Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR An –Nasa’i)
Kegembiraan ini bukanlah euforia semata, melainkan dorongan untuk berbuat kebaikan.
Ketika seseorang merasa gembira atas kedatangan Ramadan, ia secara sadar membuka pintu hatinya untuk menerima rahmat Allah. Momentum ini menjadi ajang untuk merefleksikan tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Kegembiraan itu tercermin dalam sikap sabar saat berpuasa, murah hati saat berbagi, dan rendah hati saat berinteraksi dengan sesama.
Baca: Hilal Ramadan dan Peran Sains dalam Ritual Keagamaan Islam
Gejala sosial
Di era media sosial, kegembiraan Ramadan menemukan bentuk baru yang unik dan inklusif. Salah satu fenomena yang mencuri perhatian tahun lalu adalah “Takjil War,” sebuah tren yang melibatkan masyarakat, termasuk mereka yang non-Muslim, ikut berburu takjil jelang berbuka puasa. Fenomena ini tidak hanya menjadi ajang kuliner, tetapi juga simbol toleransi beragama yang menyenangkan.
Pada dasarnya, “Takjil War” adalah cerminan dari kegembiraan kolektif yang melampaui batas keyakinan. Banyak non-Muslim ikut antre di pasar jajanan khas Ramadan, berbaur dengan umat Islam yang sedang menunggu azan magrib. Mereka tidak hanya tertarik pada makanan, tetapi juga ingin merasakan atmosfer Ramadan yang penuh kehangatan.
Bagi sebagian kalangan, Ramadan adalah waktu ketika semua orang tampak lebih ramah dan saling peduli. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegembiraan Ramadan tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga dapat dirasakan oleh siapa saja yang membuka hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa agama tidak harus menjadi penghalang untuk bersatu dalam kebahagiaan.
Selain “Takjil War,” ada banyak gejala sosial lain yang mencerminkan kegembiraan Ramadan. Misalnya, tradisi ngabuburit yang melibatkan aktivitas rekreasi sore hari, seperti bersepeda atau jalan-jalan di pusat kota. Ngabuburit bukan hanya cara untuk mengisi waktu menunggu berbuka, tetapi juga momen untuk memperkuat silaturahmi.
Selain itu, maraknya kegiatan sosial seperti pembagian takjil gratis, bazar Ramadan, dan santunan anak yatim juga menunjukkan semangat kegembiraan yang inklusif. Banyak komunitas lintas agama yang turut berpartisipasi dalam kegiatan ini, baik sebagai penyelenggara maupun penerima manfaat. Ini adalah contoh nyata bagaimana Ramadan menjadi ruang bagi semua orang untuk berbagi kebahagiaan.
Baca: ‘Ahlan Ramadan,’ Operasi Pasar ala Mesir di Tengah Jepitan Harga Kebutuhan Dasar
Refleksi kegembiraan
Di balik semua gejala sosial yang menggembirakan, penting untuk merenungkan apakah kegembiraan tersebut benar-benar mencerminkan esensi Ramadan. Euforia Ramadan tidak boleh terjebak pada aspek material, seperti berburu makanan enak atau memamerkan gaya hidup di media sosial. Ramadan adalah waktu untuk introspeksi diri, meningkatkan kualitas ibadah, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.
Hadis di atas mengingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati adalah ketika seseorang mampu menjadikan bulan suci ini sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kegembiraan itu tercermin dalam sikap sabar saat berpuasa, murah hati saat berbagi, dan rendah hati saat berinteraksi dengan sesama.
Ramadan tahun ini adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat kegembiraan yang autentik. Bulan suci ini harus menjadi momentum untuk memperkuat iman, mempererat silaturahmi, dan membangun toleransi yang lebih dalam.
Partisipasi dalam tradisi Ramadan seperti “Takjil War” adalah bentuk solidaritas yang patut diapresiasi. Umat Islam dituntut untuk menunjukkan bahwa kegembiraan Ramadan bukan hanya soal ritual, tetapi juga tentang menciptakan dampak positif bagi lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, kegembiraan Ramadan adalah cerminan dari kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Kebahagiaan datang dari Allah, dan rasa syukur adalah balasan terbaik bagi-Nya. Semoga semua orang yang merasa gembira atas kedatangan Ramadan dijauhkan dari api neraka.[]