Ikhbar.com: Kalangan yang memiliki sentimen dan pandangan negatif terhadap Islam menuding risalah agama yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw tidak ramah perempuan. Padahal, di sepanjang peradaban Islam, banyak sosok teladan bermunculan yang justru terdiri dari kelompok perempuan.
Konsep kesetaraan Islam terhadap laki-laki dan perempuan bahkan tertuang di banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Profesor dari University of Manchester sekaligus pendiri Foundation for Science, Technology, and Civilization (FSTC) di Inggris Raya, Salim TS. Al-Hassani menjelaskan, para peneliti juga telah banyak menuliskan tentang profil-profil tokoh perempuan Islam yang dianggap berjasa sejak masa kenabian Muhammad Saw, hingga di masa keemasan Islam.
Mereka yang tercatat biasanya memiliki kontribusi yang besar dalam proses transmisi dan persebaran hadis, pembelajaran fikih, penulisan sastra, dan pengabdian dalam dunia pendidikan.
“Akan tetapi memang hingga saat ini masih terbilang sedikit untuk sumber yang menyebutkan peran perempuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran, terlebih politik,” ungkap Al-Hassani, dikutip dari Muslim Heritage pada Rabu, 20 September 2023.
Oleh karena itu, kata Al-Hassani, penting bagi dirinya untuk membuat daftar perempuan Muslimah yang berpengaruh dalam bidang politik dan kekuasaan, selepas era Siti Khadijah hingga sahabat perempuan Rasulullah Saw lainnya.
Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia
Sitt Al-Mulk
Al-Hassani mengakui, dalam catatan peradaban Islam, tidak ada perempuan yang diberi gelar khalifah atau imam. Khalifah merupakan gelar yang hanya diperuntukkan bagi segelintir orang saja.
“Namun, meski tidak ada perempuan yang pernah menjadi khalifah, ada satu nama yang menjadi Sultana dan Malika (Ratu). Sitt Al-Mulk, Putri Fatimiyah di Mesir adalah salah satunya,” kata Al-Hassani.
Sitt Al-Mulk merupakan perempuan cerdas karena bisa dengan sangat piawai terhindar dari pelanggaran aturan bidang politik dalam masyarakat Islam.
“Meskipun ia menjalankan hampir semua fungsi khalifah, tetapi ia mengarahkan urusan kekaisaran dengan cukup efektif sebagai bupati (untuk keponakannya yang menjabat sebagai khalifah),” katanya.
Sitt Al-Mulk pernah menyandang gelar Naib as-Sultan (Wakil Sultan). Sosok yang hidup pada rentang tahun 970–1023 itu merupakan kakak perempuan Khalifah Al-Hakim.
Setelah kematian ayahnya, Al-Aziz (975-996), dia mencoba dengan bantuan saudara sepupu untuk memaksa saudara laki-lakinya turun takhta. Dia menjadi bupati untuk Al-Zahir.
Usai berhasil mengambil alih kekuasaan, Sitt Al-Mulk menghapuskan banyak peraturan aneh era Al-Hakim. Ia pun berusaha mengurangi ketegangan dengan Kekaisaran Bizantium mengenai kendali Aleppo. Namun, sebelum negosiasi dapat diselesaikan, Sitt Al-Mulk meninggal pada 5 Februari 1023, pada usia 52 tahun.
Syajarat Al-Durr
Ratu lain yang menyandang gelar Sultana adalah Shajarat al-Durr. Menurut Al-Hassani, dia memperoleh kekuasaan di Kairo pada 1250 M.
“Faktanya, dialah yang membawa umat Islam meraih kemenangan selama Perang Salib dan menangkap Louis IX, Raja Prancis saat itu,” ungkap Al-Hassani.
Shajarat Al-Durr (yang dalam bahasa Arab berarti ‘untaian mutiara’), memiliki nama kerajaan Al-Malikah Ismat ad-Din Umm-Khalil Shajarat al-Durr. Dia adalah istri dari Sultan Ayyubiyah yang wafat pada Perang Salib Ketujuh melawan Mesir (1249-1250).
Oleh para sejarawan dan penulis era Mamluk, Shajarat Al-Durr disebut berasal dari Turki. Dia menjadi Sultana Mesir pada 2 Mei 1250, menandai berakhirnya pemerintahan Ayyubiyah dan dimulainya era Mamluk. Dia meninggal di Kairo pada 1257.
Dalam perjalanan hidup dan karier politiknya, Shajarat Al-Durr memainkan banyak peran dan memiliki pengaruh besar dalam sistem peradilan yang ia tinggali.
“Dia adalah seorang pemimpin militer, seorang ibu, dan seorang sultana di berbagai titik sepanjang kariernya dengan sukses besar sampai dia jatuh dari kekuasaan pada tahun 1257,” tulis Al-Hassani.
Baca: Al-Zahrawi, Dokter Muslim Penemu Kosmetik dan Skincare
Sultana Razia
Semasa dengan era Shajarat Al-Durr, ada perempuan lain yang memegang kekuasaan di India. Razia (atau Raziyya) Sultana Delhi mengambil alih kekuasaan wilayah itu selama empat tahun, yakni dari 1236-1240 M.
Menurut Al-Hassani, Razia adalah satu-satunya perempuan yang pernah duduk di singgasana Delhi. Nenek moyang Razia adalah Muslim keturunan Turki yang datang ke India pada abad ke-11.
“Bertentangan dengan kebiasaan, ayahnya memilih dia, dibandingkan saudara laki-lakinya untuk menjadi pengganti. Setelah kematian ayahnya, ia dibujuk untuk turun takhta demi saudara tirinya, Ruknuddin. Namun, ia menentang karena masyarakat pun menuntut agar Razia kembali menjadi Sultana pada 1236,” kata Al-Hassani.
Dalam catatan sejarah India, Razia berhasil membangun perdamaian dan ketertiban, mendorong kemajuan perdagangan, membangun jalan, menanam pohon, menggali sumur, mendukung penyair, pelukis, dan musisi, membangun sekolah dan perpustakaan, dan berani tampil di depan umum tanpa cadar, serta mengenakan tunik dan hiasan kepala pria.
“Pertemuan kenegaraan sering kali ia buka untuk rakyat,” tulisnya.
Pada 1240, Gubernur Altunia memberontak. Pasukan Razia berhasil dikalahkan dan sang sultana pun tertangkap.
Baca: Mengenal Haras, Paspampres Era Kekhalifahan Islam
Amina dari Zaria
Pada masa Peradaban Muslim berjaya di Afrika, munculah sejumlah nama perempuan berprestasi di berbagai bidang. Di antaranya adalah Ratu Amina dari Zaria.
Amina dari Zaria adalah Ratu Zazzua, sebuah provinsi di Nigeria yang sekarang dikenal sebagai Zaria. Ia lahir sekitar 1533 pada masa pemerintahan Sarkin (raja) Zazzau Nohir.

Zazzua adalah salah satu dari sejumlah negara kota Hausa yang mendominasi perdagangan trans-Sahara setelah runtuhnya kerajaan Songhai di Barat. Pemasukan kota itu berasal dari perdagangan kulit, kain, garam, kuda, dan logam impor.
Pada usia 16 tahun, Amina menjadi pewaris kekuasaan ibunya, Bakwa dari Turunku, ratu yang berkuasa di Zazzua. Meski pemerintahan ibunya dikenal damai dan sejahtera, Amina tetal memilih belajar keterampilan militer dari para pejuang.
Ratu Bakwa meninggal sekitar 1566 dan pemerintahan Zazzua diserahkan kepada adiknya Karama. Saat itu Amina muncul sebagai prajurit terkemuka kavaleri Zazzua. Prestasi di bidang militer memberinya kekayaan dan kekuasaan yang besar. Ketika Karama meninggal setelah sepuluh tahun memerintah, Amina menjadi Ratu Zazzua.
“Amina memulai ekspedisi militer pertamanya tiga bulan setelah berkuasa dan terus berjuang sampai kematiannya. Dalam 34 tahun masa pemerintahannya, ia memperluas kekuasaan Zazzua hingga menjadi wilayah terbesar yang pernah ada,” tulis Al-Hassani.