Assalamualaikum. Wr. Wb.
Nyai uswah dan Ikhbar.com, mohon izin, saya Siti Faridah Aisyah dari Batanghari, Jambi, ingin bertanya.
Baru-baru ini masyarakat dihebohkan oleh peristiwa seorang guru yang memotong rambut sejumlah siswinya secara paksa gara-gara tidak memakai ciput yang berfungsi menutup rambut bagian depan saat berhijab.
Terlepas dari kasus tersebut, bagaimana sebnarnya Islam menganjurkan cara mendidik yang di satu sisi harus tegas secara fikih, tetapi tetap lembut secara akhlak. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Beban Ganda Atlet Perempuan Muslim Dunia
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb, Kak Faridah Aisyah di Jambi.
Menutup aurat merupakan kewajiban setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki, batas aurat bagian apa saja yang berada di antara pusar sampai lutut. Sedangkan bagi perempuan, aurat yang harus ditutup menurut jumhur ulama adalah seluruh badannya selain wajah dan kedua telapak tangan. Berbeda dengan Mazhab Hanafi, dua telapak kaki perempuan tidak termasuk aurat.
Sedangkan mengenai rambut perempuan, ulama Hanafiyah memiliki dua pendapat. Pertama, rambut yang ada dalam batasan kepala. Kedua, rambut yang berada di luar batas kepala.
Untuk rambut yang berada di dalam batasan kepala, semua ulama Mazhab Hanafi sepakat untuk memasukannya ke dalam aurat atau bagian yang wajib ditutupi. Sedangkan mengenai rambut yang keluar dari batas kepala, terdapat khilaf (perbedaan pendapat). Pendapat yang ashah (lebih sahih) hal itu termasuk ke dalam aurat, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa bagian itu tidak termasuk aurat.
Lalu dalam menanggapi fenomena yang viral, yakni seorang guru memotong paksa rambut murid perempuan yang tidak mengenakan ciput, hal itu bisa termasuk tindakan intimidasi, pemaksaan, dan physical bullying (perundungan fisik). Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Seorang muslim tidak boleh menakut-nakuti Muslim yang lain”. (HR. Abu Dawud).
Baca: Benarkah Bullying Justru Pererat Keakraban?
Setelah Allah Swt, perempuan adalah pemilik otoritas terhadap tubuhnya sendiri. Allah Swt menjamin hal ini dengan cara memuliakan makhluk-Nya dari jenis manusia. Maka tidak diperbolehkan manusia merendahkan manusia lainnya. Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70)
Sebagaimana penjelasan di dalam fikih, yakni bahwasannya status rambut yang terurai ke luar bagian kepala masih dihukumi khilafiyah, maka kalaupun guru tersebut meyakini bahwa rambut yang terurai itu wajib ditutup dengan ciput, maka semestinya disampaikan dengan baik tanpa melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa etika dakwah (menyampaikan kebenaran) adalah diawali dengan hikmah, nasihat yang baik, dan mengomunikasikan dengan cara yang baik pula.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Kata “al-Hikmah” dalam ayat tersebut menurut Prof. KH Quraish Shihab adalah sesuatu yang jika diperhatikan atau digunakan akan mendatangkan kemaslahatan yang besar serta menghindar dari kesulitan yang besar. Perintah mengajak kepada kebenaran selanjutnya adalah dengan hasanah (nasihat yang baik), dan ahsan (dialog dengan cara yang baik).
Dalam mengoreksi kesalahan, Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang bijak. Dalam Athfal al-Muslimin Kaifa Rabbahum Nabi al-Amin, Syekh Jamal Abdurrahman menjelaskan, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Rafi bin Amr Al-Ghifari RA, ia mengatakan, “Ketika itu, aku yang masih kecil melempari buah kurma milik kaum Anshar. Kemudian kami diadukan kepada Rasulullah Saw. seraya mengatakan, ‘di sana terdapat seorang anak yang melempari kurma kami.’ Lalu aku dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Beliau menginterogasi aku, ‘Wahai anak muda, mengapa kamu melempari kurma?’ Aku menjawab, aku ingin memakannya. Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, janganlah kamu melempari kurma. Ambil saja kurma-kurma yang jatuh di bawahnya.’ Kemudian beliau mengusap-usap kepalaku seraya mendoakan, ‘Ya Allah, kenyangkanlah perutnya.” (HR. At-Tirmidzi)
Dari hadis tersebut dapat kita renungkan bahwa Rasulullah Saw begitu lembut ketika mengoreksi suatu kesalahan dengan cara menemukan terlebih dahulu akar permasalahannya, lalu diakhiri dengan mendoakan kebaikan anak tersebut.
Baca: Ini Tugas Berat Pendidik menurut Buya Husein
Dari peristiwa itu, kita sebagai umat Rasulullah Saw memperoleh keuntungan signifikan berupa produk hukum (memakan buah yang sudah jatuh dari pohonnya) dengan menggunakan metode pendidikan Islam yang komprehensif.
Inilah metode yang harus digunakan dan diteladani oleh para pengasuh dan pendidik. Bukankah Rasulullah adalah role mode kita sebagai seorang pendidik? Wallahua’lam bis sawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.