Ikhbar.com: Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaan Islam mencakup segala hal-ihwal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Termasuk sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Akan tetapi, ada garis tebal yang membedakan antara frasa “politik Islam” dan “politisasi Islam.” Perbedaan inilah yang semestinya bisa menjadi jawaban atas problematika kehidupan demokrasi di Indonesia, terkhusus dalam menentukan kriteria pelarangan pelibatan simbol-simbol Islam dalam politik praktis.
Dalam konteks yang sedikit berbeda, pada 1970, cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid alias Cak Nur membedakan keduanya melalui slogan satire “Islam yes, Partai Islam No.”
Politik Islam
Intelektual Muslim sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH Nasaruddin Umar punya percontohan simpel terkait distingsi politik Islam dan politisasi Islam. Terkait gambaran politik Islam, Prof Nasar, panggilan akrabnya, mencontohkan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang disepakati antara kaum Muslim yang diwakili Rasulullah Muhammad Saw, dan kalangan kafir Quraisy.
“Ketika naskah perjanjian dirumuskan, Nabi meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, namun, ditolak oleh Suhail (perwakilan Quraisy), karena kalimat itu asing baginya. Ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu,” ungkap Kiai Nasar, dikutip dari opini berjudul, “Antara Politik Islam dan Islam Politik,” di laman resmi UIN Jakarta, www.uinjkt.ac.id, pada Ahad, 26 Februari 2023.
Menurut dia, materi perjanjian itu terlihat tidak adil karena sepintas menguntungkan kaum kafir. Yakni, jika yang melanggar perjanjian adalah orang kafir Quraisy Mekkah di wilayah Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekkah. Akan tetapi, apabila yang melanggar ialah orang Muslim di wilayah kekuasaan mereka, maka ia akan ditahan di Mekkah.
Begitu pula ketika Nabi Saw mengusulkan penutup perjanjian itu dengan kalimat Hadza maqudhiya ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan Muhammad Rasulullah), Suhail pun kembali menolaknya dengan alasan tidak mengakui kenabian Rasulullah. Suhail meminta kalimat itu diganti dengan Hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn ‘Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).
“Pencoretan basmalah dan kata ‘Rasulullah’ serta isi perjanjiannya yang tidak adil membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu. Namun, Rasulullah meminta para sahabat untuk menyetujui naskah perjanjian tersebut,” katanya.
Nabi Saw, kata Prof Nasar, kemudian menjelaskan kepada para sahabat terkait alasan mengapa dia menerima perjanjian tersebut.
“Pertama, pencoretan kata bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah memang masalah, tetapi lebih besar akibatnya bagi umat Islam jika perjanjian itu ditolak, karena posisi umat Islam masih minoritas,” kisah Prof Nasar.
Butir-butir perjanjian itu diterima agar kaum kafir Quraisy Mekkah jangan sampai ditahan di Madinah dengan tujuan tidak ikut membebani ekonomi Madinah yang sudah dibanjiri pengungsi.
Sedangkan orang Islam yang dibiarkan ditahan di Mekkah pasti akan berusaha menjalankan politik tertentu untuk memecah belah kekuatan kaum kafir Quraisy. Alhasil, semua prediksi itu tepat dan baru kemudian para sahabat mengagumi kecerdasan Nabi Saw.
“Inilah politik Islam. Terkadang harus mundur selangkah untuk meraih kemenangan. Dalam posisi umat Islam masih minoritas, tidak ada cara terbaik kecuali kooperatif dengan keiinginan mayoritas, demi menyelamatkan umat,” katanya.
Menurut Prof Nasar, politik Islam bukan untuk mentolerir jatuhnya korban hanya demi mencapai kemenangan secara simbolis. Kemenangan substansial di mata Islam jauh lebih berharga.
Politisasi
Terkait politisasi Islam atau Islam politik, Prof Nasar mencontohkan peristiwa perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
“Ketika Ali dan Mu’awiyah berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat, tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin,” katanya.
Mu’awiyah didukung Aisyah, istri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya, Fatimah, putri Rasulullah. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya. Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak Muawiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.
“Ia menggunakan simbol 500 Al-Qur’an yang diusung diujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Al-Qur’an. Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani,” lanjut Kiai Nasar.
Amr ibn ‘Ash tahu kesalehan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali dan Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.
Dengan lugu, Abu Musa, perunding mewakili pihak Ali ibn Ai Thalib menerima usulan itu. Ia diminta berpidato lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya umat Islam mencari khalifah yang dapat diterima semua pihak.
“Tiba giliran Amr ibn ‘Ash, menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah, maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya, maka peperangan pecah kembali,” ungkap Prof Nasar.
Sementara itu, ulama kharismatik kalangan Nahdlatul Ulama (NU), KH MA Sahal Mahfudz menjelaskan bahwa politik dalam Islam harus dimaknai dan digunakan dalam makna yang luas.
“Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan,” tulis Kiai Sahal, dalam “Islam dan Politik,” dikutip dari laman NU Online.
Menurutnya, politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, cuma akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum.
“Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam,” jelas Kiai Sahal.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Kiai Sahal, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. “Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air,” katanya.
Namun, pada praktiknya, politisasi Islam alias pelibatan Islam dalam politik praktis lebih kerap mewarnai kehidupan demokrasi di Indonesia. Termasuk, jelang penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Soal politik agama itu tidak bisa dipungkiri pasti ada orang yang menggunakan agama sebagai kampanye,” kata Sekretaris Jendral (Sekjen) Kemenag, Nizar Ali.
Oleh karena itu, ia menegaskan, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sudah mengingatkan tidak boleh ada politisasi agama di tahun politik seperti saat ini hingga Pemilu 2024 nanti.
“Kemenag sudah sangat jelas, politisi agama sangat dilarang. Hal ini dalam kontes menjaga kerukunan agama di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, Kemenag tidak ingin beda pilihan dalam politik tapi basisnya karena agama. “Jadi menghidupkan unsur SARA, itu yang tidak boleh,” ucap Nizar Ali.
Imbauan serupa juga diterbitkan Dewan Masjid Indonesia (DMI). Dalam Surat Edaran (SE) Nomor 030.D/III/SE/PP-DMI/II/2023 tanggal 5 Februari 2023, mereka mengingatkan pengurus untuk menjauhkan segala praktik politik dari lingkungan masjid. Hal ini untuk menjaga kedamaian dan ketakwaan jemaah.
“Karena pada Ramadan ini masyarakat dan bangsa ini sudah mulai memasuki suasana demam politik menuju Pemilu 2024,” bunyi SE tersebut.