Assalamualaikum Wr. Wb
Perkenalkan, saya Musta’an Basran dari Provinsi Lampung. Redaksi Ikhbar.com dan Kiai Ghufroni Masyhuda, saya ingin bertanya, menjelang Lebaran seorang suami memiliki tanggung jawab secara tradisi untuk membelikan pakaian anak dan istri.
Pertanyaannya, apakah lebih baik mendahulukan untuk membelikan pakaian istri atau anak? Terima kasih.
Jawaban:
Waalaikumsalam Wr. Wb
Terima kasih, Bapak Musta’an yang baik, atas pertanyaannya.
Berdasarkan kacamata fikih, yang diprioritaskan dalam pemberian nafkah adalah istri. Hal itu, bahkan berlaku ala kulli halatin (dalam setiap kondisi, baik istri masih kecil, dewasa, miskin, atau pun kaya).
Hal itu sesuai dengan hadis Rasulullah Muhammad Saw, beliau bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
“Berikanlah terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu; bila lebih, maka untuk istrimu; bila masih lebih, maka untuk keluarga terdekatmu; bila masih lebih lagi, berikanlah untuk lain-lain.” (HR. Muslim).
Keterangan itu diperjelas melalui hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah berikut:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوا
فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ
فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ
قَالَ : عِنْدِي آخَرُ
قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ
قَالَ : عِنْدِي آخَرُ
قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ
قَالَ : عِنْدِي آخَرُ
قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ
قَالَ : عِنْدِي آخَرُ
قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ
Dan dari Abu Hurairah Ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Bersedekahlah kalian.”
Seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar.”
Rasulullah bersabda, “Bersedekahlah dengan uang itu kepada dirimu sendiri.”
Lelaki itu berkata lagi, “Aku masih punya uang yang lain.”
Rasulullah bersabda, “Bersedakahlah kepada istrimu.”
Lagi-lagi lelaki itu berkata, “Aku masih punya uang yang lain.”
Rasulullah menjawab, “Bersedekahlah kepada anakmu.”
Lelaki itu berkata lagi, “Aku masih punya uang yang lain.”
Rasulullah menjawab, “Bersedekahlah kepada pembantumu.”
Lelaki itu berkata lagi, “Aku masih punya uang yang lain.”
Rasulullah menjawab, “Kamu lebih tahu (untuk bersedekah kepada siapa).”
Sementara kewajiban nafkah kepada anak justru memerlukan beberapa syarat, yakni anak kecil, fakir, dan tidak mampu berusaha. Sehingga anak kecil tetapi kaya, atau sudah dewasa, fakir, tetapi mampu bekerja (tidak lumpuh), maka tidak wajib dinafkahi.
Hal itu, sebagaimana dijelaskan Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dalam Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال – وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.”
Hanya saja, jika ditimbang dari social humanity (rasa sosial kemanusiaan), tentunya, istri yang notabene sebagai ibu si anak-anak akan lebih memilih mengalah untuk tidak dibelikan baju Lebaran dan lebih mengutamakan buah hati mereka. Wallahu a’lam.
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.