Ikhbar.com: Masjid adalah jantung umat Islam. Keberadaannya begitu penting baik sebagai tempat ritual keagamaan, maupun kegiatan sosial.
Saking pentingnya, Allah Swt menyandingkan masjid dengan diri-Nya. Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 114;
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya?”
Karena itulah, ada ayat yang berisi perintah bagi seseorang yang beriman untuk memakmurkan masjid.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah: 18).
Terkait arti memakmurkan masjid, setidaknya terdapat dua pendapat. Pertama, dengan cara membangun, memperindah, ataupun memperkokoh. Namun, pendapat ini dinilai bukan tujuan utama dalam pemakmuran masjid.
Sementara pendapat kedua menyebutkan pemakmuran masjid bisa dilakukan dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt dan melangsungkan zikir di dalam masjid.
Terkait tafsir QS. At-Taubah ayat 18, mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang kriteria orang yang layak untuk memakmurkan masjid. Dalam Al-Misbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibn Katsir, Syekh Safiurrahman Al-Mubarakfuri menyebut lima kriteria orang yang memakmurkan masjid, yakni, memiliki keimanan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan memiliki perasaan takut hanya
kepada Allah Swt.
Meski demikian, Syekh Abdul Halim Hasan dalam Tafsir Al-Ahkam tak sepakat dengan adanya menunaikan zakat sebagai salah satu bentuk memakmurkan masjid.
Menurutnya, arti memakmurkan itu adalah meramaikannya dengan menunaikan zakat di dalamnya. Abdul Halim berpendapat, jika seseorang telah melaksanakan perintah zakat sekali pun ia melangsungkannya tidak di dalam masjid, maka ia telah memakmurkan masjid.
Maka dari itu, Abdul Halim tidak setuju jika gelar pemakmur masjid diberikan kepada seseorang hanya karena rajin membangun tempat ibadah kaum muslim tersebut.
Menurutnya, jika yang dimaksudkan memakmurkan masjid itu dengan mendirikan masjid, maka ia secara otomatis seperti orang
yang telah mengeluarkan zakat harta bendanya. Padahal berbeda. Mengeluarkan zakat dihukumi wajib, sedangkan mendirikan masjid merupakan sunah.
Maka seseorang yang belum menunaikan kewajibannya, yaitu mengeluarkan zakat, tidaklah pantas untuk disebut sebagai golongan yang termasuk memakmurkan masjid.
Kemudian, Syekh Muhammad Husein At-Taba-Taba’i dalam Tafsir Al-Mizan mengartikan kata ‘takut’ dalam ayat tersebut bukanlah sekadar takut kepada Allah Swt.
Lebih jauh, ia memahaminya dengan ketakutan yang mendorong
seseorang melakukan ibadah, bukan dalam arti takut yang berasal dari dalam
diri manusia.
Sebab, menurutnya, sangat sulit bagi seseorang untuk menghilangkan rasa
takut pada dirinya terhadap segala sesuatu, sehingga menjadikan orang itu
tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Dikarenakan, hal ini adalah sesuatu yang
tidak dapat dicapai kecuali oleh para nabi, rasul, dan manusia-manusia istimewa yang selalu dekat dengan Allah Swt.
Alhasil, memakmurkan masjid di mata para ulama adalah dengan cara membangun kualitas masjid sekaligus diri individu di dalamnya untuk terus menyempurnakan ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt.