Ikhbar.com: Sebut saja Agus, dia memiliki utang puasa Ramadan tahun lalu sebanyak 12 hari, akan tetapi sisa waktu yang tersedia dalam bulan Syakban tinggal 10 hari. Bagaimana cara mengganti selisih dua hari tersebut karena sudah masuk Ramadan berikutnya?
Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda menjelaskan, ada dua kelompok orang yang membatalkan puasa dalam kacamata fikih. Keduanya, memiliki konsekuensi berbeda dalam kesempatan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkannya.
“Pertama, orang-orang yang membatalkan puasa karena uzur (halangan) syar’i atau yang dibenarkan syariat. Kedua, tidak karena uzur syar’i,” ungkap Kiai Ghufron, saat menjadi narasumber Hiwar Ikhbar dengan tema “Yang Kerap Terlupa dari Fikih Puasa” dalam live Instagram @ikhbarcom, Jumat, 3 Maret 2023.
“Bagi orang yang membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka ia wajib mengqadhanya dengan segera. Ketika Lebaran, besoknya wajib langsung mengganti puasa yang ditinggalkannya,” sambungnya.
Tetapi, lanjut Kiai Ghufron, bagi yang membatalkan puasa karena uzur syar’i, seperti sakit, hamil, menyusuhi, dan lainnya, maka diberi keleluasaan untuk mengqadhanya kapan waktu di sepanjang tahun sebelum datang Ramadan berikutnya.
“Kelompok ini pun terbagi dua. Pertama, orang-orang yang batal puasa karena uzur syar’i tetapi belum bisa mengqadhanya sampai setahun karena belum memiliki kemampuan, misalnya, karena hamil kemudian disambung masa menyusui, maka dihukumi tidak apa-apa. Artinya, tidak berdosa dan tidak dikenakan wajib membayar fidyah,” jelasnya.
Namun, kedua, bagi yang batal karena uzur syar’i dan telah melewatkan kemampuan membayar utang puasanya, maka ia wajib membayar fidyah sejumlah hari yang ditinggalkan.
“Kalau dalam contoh tadi, maka sisa dua hari yang keburu masuk Ramadan berikutnya itu harus diganti dengan membayar fidyah,” katanya.
Menurut Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon itu, pembayaran fidyah tersebut dikenakan 60 mud atau setara 6,88 ons makanan pokok per hari yang ditinggalkannya.
“Fidyah itu artinya tebusan. Kenapa harus ditebus? Karena seseorang itu dinilai melakukan pelanggaran sebab sembrono, terlalu santai, dan lainnya,” kata Kiai Ghufron.