Oleh: Iin Sholihin (Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon)
REFORMASI berarti menempatkan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tempat yang tinggi. HAM menjadi suatu hal yang sangat dilindungi dan dihormati negara. Pasca orde baru, negara lebih responsif terhadap kondisi HAM di Indonesia.
Salah satunya adalah terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat. Era reformasi yang ditandai berakhirnya orde baru pada tahun 1998 menjamin hak warga negara dalam mengekspresikan pendapat dan gagasannya. Reformasi telah menjadi titik awal kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pasalnya, di era orde baru kebebasan berpendapat sangat terbatas. Media massa sebagai penyalur informasi pun senantiasa dikontrol oleh pemerintah. Jika ada yang berani menyuarakan kritik kepada pemerintah akan dianggap provokator dan dituding sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.
Oleh karena itu, tidak heran pada masa itu banyak cendikiawan yang kerap melontarkan kritikan kepada pemerintah berakhir menjadi tahanan politik. Bahkan, buku-buku berhaluan kiri seperti karya Pramoedya Ananta Noer yang diberangus dan dibakar.
Berbeda dengan era reformasi, kebebasan berpendapat menjadi sorotan utaman. Banyak regulasi nasional yang mengatur serta menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara Indonesia. Di antaranya adalah Undang-Undang NO 39 Tahun 1999 yang menyatakan, setiap orang bebas mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapatnya, baik secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Kebebasan mengungkapkan pendapat bukan lagi hal yang sulit pasca reformasi. Pemerintah dengan sistem demokrasinya telah membebaskan warganya untuk menyuarakan saran dan aspirasinya untuk kemajuan Bangsa Indonesia.
Di berbagai media massa atau platform media sosial, kita bisa melihat dan membaca beragam kritik dan saran yang ditujukan kepada pemerintah. Kebebasan itu tidak ada yang melarang atau membatasi.
Namun, terkadang kebebasan berpendapat itu menjadikan masyarakat melebihi batas. Ia yang seharusnya mengutarakan aspirasi atau kritik, malah justru yang terlihat adalah cacian atau hinaan.
Fenomena itu banyak dijumpai di media sosial. Tidak sedikit masyarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah melontarkan kritik dengan nada cercaan atau hinaan. Sehingga, esensi kritiknya tidak tersampaikan.
Kisah Nabi Musa dan Fir’aun
Prof Dr KH Said Aqil Siroj di dalam ceramahnya pernah mengatakan, masyarakat dalam menyampaikan kritiknya kepada pemerintah hendaknya belajar dari kisah Nabi Musa As. Ketika Nabi Musa ditugaskan oleh Allah Swt, beliau diperintahkan untuk menyampaikan ajarannya kepada Firaun dengan bahasa yang santun dan sopan.
Ajaran Nabi Musa merupakan bentuk kritik terhadap kepercayaan yang diyakini Firaun dan pengikutnya. Pada waktu itu, Firaun bahkan mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang harus disembah oleh umatnya. Nabi Musa hadir untuk meluruskan kesalahan-kesalahan serta menghapus kezaliman Firaun dan pengikutnya.
Kisah itu terekam jelas dalam Surah Thaha ayat 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS.Tahah: 44).
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, Firaun merupakan simbol dari keburukan dan kesombongan. Sedangkan Nabi Musa merupakan kekasih dan hamba pilihan Allah Swt. Namun, Allah memerintahkan Nabi Musa saat berdialog dengan Firaun dengan bahasa yang santun dan lembut.
Hal ini sejalan dengan pendapatnya Syekh Abdurrahman bin Nashir di dalam Tafsir As-sa’di. Dijelaskan bahwa kata layyin bermakna sopan, lembut dan tidak kasar, baik ucapan atau tindakan. Yang artinya frase qoulan layyinan itu diekspresikan saat menyampaikan kritik dengan kata-kata lembut dan tidak menampilkan ekspresi kasar dan tidak meluap-luap penuh kesombongan.
Sementara Imam Ibnu Asyur dalam tafsir St-tahrir wa Tanwir memaparkan, qoul layin artinya perkataan yang menunjukkan rasa nyaman kepada orang yang diajak dialog. Oleh karena itu, penutur ketika mengajak bicara lawannya harus disertai logika yang benar dan logis. Sehingga dapat membedakan mana yang haq dan bathil.
Al-Qur’an telah mengajarkan bagaiman mengutarakan kritik kepada orang lain. Siapapun itu, kritik harus disampaikan dengan ekspresi yang santun. Toh, kita sendiri tidak sebaik Nabi Musa dan pemerintah tidak seburuk Firaun.
Indonesa sebagai negara yang mayoritas beragama Islam sudah sepatutnya mengekspresikan kritiknya dengan santu, bukan hinaan atau cacian. Kritik dengan bahasa yang lembut dan logis akan mudah diterima serta membekas di dalam hati. Bukankah Al-Qur’an mengajarkan demikian?
Wallahu A’lam…