Ikhbar.com: Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), KH Faqihuddin Abdul Kodir menyarankan agar masyarakat tidak menyikapi setiap pro-kontra secara negatif. Sebab, menurutnya, ada hikmah dan pelajaran dari sebabak perbedaan pendapat. Termasuk soal childfree atau tekad pasangan suami-istri untuk tidak memiliki keturunan/anak.
“Diskursus childfree itu mengajarkan kita tentang pentingnya kualitas pernikahan dan parenting,” kata Kiai Faqih, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber dalam Hiwar Ikhbar bertema “Mengarifi Argumentasi Childfree” di akun Instagram @ikhbarcom pada Ahad, 19 Februari 2023.
Menurut penulis buku Qiraah Mubadalah (2021) itu, perdebatan childfree mestinya menyadarkan publik bahwa sebuah pernikahan tidak hanya menargetkan kehadiran keturunan.
“Karena dalam perdebatan childfree ini orang hanya berkutat pada kalimat ‘punya anak’ dan ‘tidak punya anak’ bukan pada pentingnya menjadi ‘orang tua yang bisa mendidik anak,” ungkap Kiai Faqih.
“Kalau kata ‘punya’ itu kesannya setelah punya anak, selesai. Sementara kalau ‘menjadi orang tua’ itu adalah proses yang terus berlanjut,” sambung dia.
Lebih lanjut, Kiai Faqih menekankan bahwa perbedaan penggunaan bahasa itu akan memengaruhi kesadaran para orang tua bahwa anak adalah tanggung jawab. Anak, bukanlah bentuk kepemilikan sehingga dia harus terus dididik agar bisa mencapai kualitas diri yang baik.
“Bahkan, bahasa mendidik anak dengan orang tua yang mampu mendidik anak, itu beda. Menjadi orang tua yang bisa mendidik anak itu harus sabar, ikhlas, pengertian, dan sebagainya,” kata Kiai Faqih.
Di sisi lain, kata dia, isu childfree yang tak jarang disambut publik dengan ujaran negatif, bahkan perundungan itu menunjukkan ketidaksiapan publik dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Menurut Kiai Faqih, publik juga masih terpengaruh atau menimbang isu dengan kacamata maskulinitas. Berhubung isu childfree kembali terangkat oleh Youtuber perempuan, Gita Savitri, maka respons yang didapat pun berbeda.
“Mungkin akan beda jika yang mengungkapkan adalah laki-laki yang berstatus sebagai tokoh. Contohnya, kalau politisi perempuan marah-marah, maka masyarakat akan merespons dengan negatif. Beda dengan laki-laki, maka dia akan disebut tegas,” kata Kiai Faqih.
“Apalagi, (Gita) tinggal di Eropa, kondisi itu yang makin menunjukkan kita belum siap dalam menghadapi perbedaan pendapat atau isu yang sebenarnya bisa kita maknai untuk meningkatkan kualitas diri,” sambung Kiai Faqih.