Ikhbar.com: Hukum fikih mendefinisikan puasa sebagai al imsak ‘an al mufthirat alias menjaga diri dari hal-hal yang membatalkannya, seperti makan, minum, jimak, dan lainnya, dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, di era yang kian modern, pengertian batas akhir puasa itu makin presisi hingga ke hitungan menit dan telah disesuaikan dengan zona waktu di tiap-tiap daerah melalui penetapan jadwal imsakiyah.
Lantas, batalkah orang yang berbuka puasa mendahului barang lima menit dari ketetapan waktu magrib di jadwal imsakiyah?
Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda menjelaskan, puasa mensyaratkan bagi orang yang berpuasa untuk memiliki keyakinan atas ketetapan batas akhir atau waktu magrib sehingga membolehkannya untuk berbuka.
“Dalam literatur fikih dijelaskan, orang yang puasa boleh berbuka dengan sebab ada kabar dari orang yang dinilai adil yang menyatakan bahwa waktu magrib telah tiba,” kata Kiai Ghufron, sapaan akrabnya, kepada Ikhbar.com, Jumat, 31 Maret 2023.
Keberadaan orang adil tersebut, lanjut Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon itu, saat ini sudah terwakili oleh keberadaan lembaga-lembaga falakiyah di bawah Kementerian Agama (Kemenag) maupun di setiap organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam, seperti NU dan Muhammadiyah.
“Atau bisa juga secara yakin telah mendengar kumandang azan. Oleh karena itu, bagi orang yang masih ragu apakah waktu magrib sudah tiba atau belum, maka haram baginya untuk berbuka puasa,” ungkap Kiai Ghufron.
Menurut Kiai Ghufron, penjelasan itu sebagaimana yang tertuang dalam I’anat at-Thalibin:
( فروع ) يجوز للصائم الافطار بخبر عدل بالغروب، وكذا بسماع أذانه، ويحرم للشاك الأكل آخر النهار حتى يجتهد ويظن انقضاءه، ومع ذلك الأحوط الصبر لليقين
“Bagi orang puasa boleh berbuka dengan sebab ada kabar dari orang adil tentang sudah masuknya waktu magrib, begitu pun dengan mendengar suara azan. Dan haram bagi orang yang masih ragu (masuknya waktu magrib) makan di akhir siang sampai berusaha semaksimal mungkin mencari tahu dan menemukan dugaan kuat sudah masuk waktu. Meski demikian, demi kehati-hatian hendknya seseorang sabar untuk menunggu sampai betul-betul yakin.”
“Disamping itu, kita juga harus memahami kaidah fikih bahwa kesesuaian antara keyakinan dan fakta lapangan turut menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah ibadah,” kata Kiai Ghufron.
Kiai Ghufron mencontohkan, jika ada orang yang berbuka puasa karena mengira sudah masuk waktu magrib, tetapi dalam kenyataanya belum, maka puasanya dianggap batal.
Begitu pula sebaliknya. Seseorang yang berbuka puasa dengan tanpa pertimbangan dan keyakinan bahwa saat itu telah masuk waktu magrib, maka tetap dihukumi batal meskipun secara faktual saat itu telah benar-benar masuk batas waktu puasa.
“Karena meskipun waktu atau secara fakta sinkron, tapi dia tidak memiliki keyakinan atau menguatkan keyakinannya bahwa ia telah memasuki waktu magrib,” katanya.
Kiai Ghufron mengungkapkan, teori itu pun berlaku bagi orang-orang yang berbuka berpuasa, tetapi menyelisihi waktu magrib yang tertera dalam jadwal imsakiyah.
“Contohnya, ada orang yang sebenarnya sudah tahu dan sadar bahwa waktu magrib di jadwal imsakiyah tertulis pukul 17.55 WIB, tetapi dia sengaja berbuka lima menit sebelumnya, yakni pada pukul 17.50 WIB, maka jelas puasanya dianggap batal karena tidak memiliki kecocokan antara fakta dan keyakinan,” tegas Kiai Ghufron.
Dalam menjelaskan itu, Kiai Ghufron juga merujuk keterangan dalam I’anat at-Thalibin yang berbunyi:
ان الاعتبار فى العبادات بما فى ظن المكلف وبما فى نفس الأمر
“Bahwa yang menjadi pertimbangan dianggap dalam ibadah adalah yang sesuai dengan keyakinan mukallaf dan kenyataan.”
“Jadi syarat berbuka puasa itu adalah yakin, adanya kesesuaian fakta, serta berpedoman pada kabar waktu magrib dari orang-orang yang adil, praktisnya, jadwal imsakiyah,” pungkas Kiai Ghufron.