Ikhbar.com: Ada suasana menarik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI dengan Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Rabu, 29 Maret 2023 kemarin. Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) sekaligus Ketua Komite TPPU, Prof. Mahfud MD sempat melontarkan sebuah kaidah ushul fiqih kala menjawabi rentetan pertanyaan dari anggota dewan.
Prof Mahfud menjawab tudingan yang menyebutnya tidak berwenang berbicara soal dugaan transaksi janggal hingga Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu dengan kaidah fikih:
والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
“Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.”
“Bahwa setiap urusan, jika tidak dilarang, boleh, kecuali sampai timbul hukum yang melarang,” ucap Prof Mahfud, dikutip dari akun YouTube TVR Parlemen, pada Kamis, 30 Maret 2023.
Lulusan Pondok Pesantren Al-Mardliyyah, Waru, Pamekasan Madura, Jawa Timur itu menjelaskan bahwa kaidah tersebut sudah cukup familiar di kalangan santri, bahkan yang masih berusia remaja.
“Situ (Anda) di pesantren kan? Dalil di pesantren sudah hafal yang seperti ini,” ucap Prof. Mahfud, mengarah ke salah satu anggota parlemen.
Penggalan kaidah itu terdapat dalam I’lam al Muwaqqi’ien an Rabb al Alamin, karya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’d al-Zar’i Al-Dimashqi atau yang lebih masyhur disebut Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah. Selain itu, terdapat kaidah sejenis yang dimuat dalam Fath al-Qadir karya Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad atau Imam Al-Syaukani dengan bunyi:
أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
“Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.”
Dasar dari munculnya kaidah tersebut adalah QS. Al-Baqarah: 29. Allah Swt berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Sedangkan dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitab-Nya, dan apa saja yang di diamkan-Nya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan At-Thabarani)
Kaidah tersebut menjadi pegangan penting bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, terutama di bidang muamalah. Manusia dibebaskan untuk melakukan apa saja baik dalam lingkup keluarga, bidang perdagangan, urusan politik, pertimbangan pendidikan, hingga dunia militer, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam I’lam al Muwaqqi’ien an Rabb al Alamin menjelaskan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
“Dia –Allah Swt– seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya. Karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya.”
Sementara Imam Muhammad At-Tamimi dalam Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha menjelaskan:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”
Lebih uniknya lagi, dalam rapat tersebut, Prof. Mahfud juga mengomparasikannya dengan adagium hukum berbahasa Belanda yang memiliki makna cukup setara, yakni nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.
“Di mana dalilnya? Sekarang bukan bahasa Arab. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Ini dalam hukum pidana. Tidak ada satu kesalahan, tidak ada sesuatu yang dilarang itu sampai ada undang-undang yang melarang lebih dulu. Ini tidak dilarang kok. Lalu ditanya kayak copet saja. Memang siapa?” kata Prof. Mahfud.