Ikhbar.com: Ada dua pendapat ulama terkait hukum menunaikan zakat fitrah dengan menggunakan uang. Pendapat pertama, tidak perbolehkan dan tetap harus menggunakan makanan pokok yang dikonsumsi mayoritas penduduk si penerima zakat (mustahiq). Pendapat kedua, boleh ditunaikan dengan menggunakan qimah atau harga dari kadar zakat fitrah yang dikeluarkan.
Demikian disampaikan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Cirebon, KH Ahmad Zaeni Dahlan, kepada Ikhbar.com, Kamis, 6 April 2023.
“Baznas Kabupaten Cirebon memilih pendapat yang kedua, yakni zakat fitrah dapat diuangkan dengan pertimbangan kepraktisan. Hal ini juga berdasarkan musyawarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon, perwakilan Kementerian Agama (Kemenag), perwakilan Pemda dan beberapa ulama di Kabupaten Cirebon,” kata Kiai Ahmad, sapaan akrabnya.
Musyawarah tersebut, lanjut Kiai Ahmad, telah digelar pada 26 Januari 2023 lalu. “Musyawarah itu telah menetapkan bahwa besaran zakat fitrah bagi setiap muslim warga Kabupaten Cirebon yang sudah memenuhi syarat wajib zakat fitrah adalah 2,5 kg beras atau (jika diuangkan) Rp30 ribu,” ungkap dia
Kiai Ahmad menjelaskan, para ulama juga membagi waktu penunaian zakat menjadi empat kategori.
“Pertama, waktu jawaz, yakni saat seorang Muslim sudah boleh menunaikan zakat fitrah, tepatnya sejak masuknya bulan Ramadan,” katanya.
Kedua, waktu wajib. Yakni di saat seorang sudah berkewajiban menunaikan zakat fitrah, yaitu sejak terbenamnya matahari di malam hari raya Idulfitri. Ketiga, waktu utama, yaitu di pagi hari raya Idulfitri sebelum dilaksanakannya salat id.
“Dan yang keempat adalah waktu makruh atau waktu yang seharusnya dihindari. Waktu makruh diperuntukkan bagi yang lalai menunaikan zakat fitrah sampai selesainya salat Id. Ia tetap wajib melaksanakan zakat fitrah sampai batas terakhir terbenamnya matahari pada hari raya Idulfitri,” kata Kiai Ahmad.
Menurutnya, zakat fitrah yang ditunaikan setelah waktu makruh sudah digolongkan menjadi sedekah, bukan lagi zakat fitrah.
Lantas, bagaimana hukumnya jika seseorang berusaha menghindari batas waktu zakat fitrah dengan menunaikannya melalui transfer ke mustahiq di zona waktu yang berbeda? Atau ke daerah yang belum jatuh pada batas waktu dibolehkannya menunaikan zakat fitrah?
Soal ini, Kiai Ahmad menjelaskan bahwa lazimnya, para ulama menentukan waktu beribadah selalu dengan mempertimbangkan waktu pelaksanaan ibadah sesuai dengan zona waktu sang pelaksana berada.
“Seperti yang selama ini diterapkan dalam waktu salat, waktu puasa, dan waktu ibadah-ibadah yang lain. Demikian pula dengan waktu zakat fitrah, ia dapat dimasukkan dalam kategori-lategori waktu tersebut di atas, berdasarkan kapan zakat
fitrah itu dilaksanakan oleh muzakki (orang yang menunaikan zakat), bukan kapan zakat itu diterima oleh mustahiq,” tegas Kiai Ahmad.
“Sehingga Ketika ada seorang yang telah melampaui batas waktu yang ditentukan menurut zona waktu di mana ia tinggal, kemudian mentransfer dana zakat ke daerah dengan zona waktu yang berbeda yang belum lewat batas waktunya, maka yang menjadi acuan adalah zona waktu di mana ia melaksanakan, bukan zona waktu di mana zakat itu diterima,” sambung Kiai Ahmad.
Hal lainnya, Kiai Ahmad menjelaskan bahwa zakat fitrah harus dibayarkan sesuai dengan kadar yang sudah ditetapkan para ulama. Jadi, apabila membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang yang ditransfer, maka muzzaki harus memastikan terlebih dahulu bahwa uang senilai Rp30 ribu (untuk daerah Cirebon) itu adalah murni dari jumlah yang diterima oleh mustahiq atau oleh Badan Amil Zakat.
“Akan tetapi jika dalam proses transfer ada biaya administrasi yang dikenakan pihak bank, misalnya, sehingga uang yang diterima menjadi berkurang, maka zakatnya tetap sah akan tetapi kurang sempurna,” kata Kiai Ahmad.
Oleh karena itu, muzakki wajib menambal kekurangannya itu demi kesempurnaan zakat fitrah yang ia tunaikan.
“Harus disempurnakan sehingga sesuai dengan yang seharusnya ditunaikan,” pungkas Kiai Ahmad.