Ikhbar.com: Juna sempat tidak menyangka kini telah memasuki tahun kesepuluh semenjak dirinya meninggalkan Indonesia. Bermula dari keputusannya untuk ikut sang tambatan hati pulang ke negara asalnya, Belgia, hari-hari bahagia pun telah membiasakan Juna untuk hidup di negeri orang, termasuk saat menjalani ibadah puasa di setiap Ramadan tiba.
Tekad Siti Juaneti, nama lengkapnya, kian kuat setelah ditemani empat buah hati yang kesemuanya laki-laki. Kepada Ikhbar.com, dia mengisahkan suka duka menjalani ibadah selama bulan suci di Belgia. Katanya, asalkan dilandasi niat baik dan rasa syukur, segala tantangan pasti bisa ditaklukkan.
“Alhamdulillah, banyak sekali tantangannya menjalani ibadah selama Ramadan di Eropa, khususnya Belgia. Selain kami minoritas, perbedaan lamanya waktu berpuasa juga membutuhkan adaptasi ekstra,” kata Juna, Senin, 3 April 2023.
Manajemen waktu
Juna mengaku beruntung, Ramadan tahun ini bertepatan dengan musim spring alias musim bunga. Sebab, di musim ini, durasi siang yang mewajibkan seorang Muslim berpuasa juga turut menyusut. Bahkan hanya memiliki selisih 1-2 jam dari total durasi puasa di Indonesia yang rata-rata selama 13 jam.
“Tahun ini kami berpuasa hanya sekitar 15 sampai 16 jam. Kalau kebetulan lagi musim panas, wah, bisa sampai 19 jam,” katanya.
Meskipun begitu, Juna mengatakan penganut Muslim setempat tetap membutuhkan kepiawaian dalam mengatur waktu agar semuanya berjalan lancar. Pasalnya, jarak antara waktu salat pun cenderung berbeda.
“Ya, kami terasa berkejar-kejaran antara waktu iftar (berbuka puasa) sekaligus waktu salat Magrib yang superpendek, disambung Isya dan Tarawih, itu tak lama lagi sahur kemudian imsak. Jauh berbeda dengan di Indonesia,” katanya.
Yang khas
Tentu, tidak ada tradisi ngabuburit di Belgia. Jadi, Juna sudah terbiasa menyiapkan segala sesuatunya sendiri untuk berbuka puasa.
Dia menceritakan, di setiap harinya anak-anak pulang dari sekolah sekitar jam 17.00. Mereka biasanya langsung salat Asar, murajaah, selawatan, kemudian turut membantu sang ibunda menyiapkan hidangan untuk iftar.
“Untuk menu, karena saya dari Indonesia, jadi ya masih sering ala-ala selera Nusantara. Ada gorengan juga. Tapi menu favorit keluarga kami adalah bakso, bihun goreng, dan paling sesekali couscous (salah satu jenis makanan khas Maroko),” ungkapnya.
Walaupun Muslim di Belgia hanya 7% dari total penduduk sebanyak 11.584.008 jiwa (Sensus 2022), namun, pemerintah setempat memberikan cukup perhatian terhadap warga Muslim yang sedang menjalankan puasa Ramadan.
“Bahkan, di setiap awal Ramadan, anak-anak saya diberi libur. Begitu juga saat Lebaran, biasanya dikasih libur satu hari,” kata Juna.
Di negara beribu kota Brussel itu, Juna dan keluarganya tinggal di De Haan Aanzee, yakni sebuah desa kecil dekat pesisir pantai yang berbatasan dengan Belanda dan Prancis.
“Tempat favorit selama Ramadan, biasanya kami ke masjid. Jaraknya sekitar 30 menit dari tempat tinggal kami. Masjid tersebut merupakan wakaf dari warga Belgia yang mualaf, namanya Masjid Aisja,” cerita Juna.
Meskipun masih berbentuk rumah biasa, tetapi Juna sangat senang mengunjungi masjid tersebut karena intens menggelar program tahfiz Al-Qur’an untuk anak-anak.
“Ya, kalau begini, tentu kangen dengan suasana Indonesia. Makanya di setiap Idulfitri, kami sesama diaspora Indonesia biasa saling mengundang dan berkumpul kemudian memasak menu-menu khas Indonesia,” katanya.
Yang menarik lagi, ungkap Juna, hari raya Iduladha lebih semarak di Belgia. Sebab, warga lokal penganut Muslim lebih banyak bermazhab Maliki dan Hanafi.
“Alhamdulillah, setiap Lebaran kami juga masih bisa menikmati ketupat yang kita masak bersama-sama,” pungkas Juna.