Oleh: Romzi Ahmad (Direktur Pendidikan Ma’had Al Shighor/Wakil Ketua Umum Siberkreasi)
KEHADIRAN manusia baik secara individu maupun kolektif di ruang digital (virtual existence) adalah niscaya. Pertemuan virtual menjadi fenomena baru yang dilakukan untuk ragam aktivitas, dari rapat kantor, pembelajaran di sekolah, arisan tetangga, hingga yang relevan dengan pembahasan saya pada tulisan ini, yaitu kajian keagamaan. Kajian agama secara virtual atau biasa disebut dengan “ngaji online” menjadi kebiasaan baru dalam kultur kegamaan Islam di Tanah Air.
Berkah pandemi
Kebiasaan baru ini secara masif didorong oleh hadirnya pandemi Covid-19. Jauh sebelum pandemi, sejak tahun 2016 bersama banyak alumni pesantren, saya berkeliling ke berbagai pesantren di Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran digital dan pentingnya pesantren hadir untuk memberikan kajian keagamaan secara virtual. Kami berusaha mengajak seluruh pesantren untuk memulai digital presence, hadir di ruang digital dengan mendampingi pesantren dalam mengelola akun media sosial dan simple web-based information sebagai etalase informasi tentang profil maupun kegiatan pesantren.
Upaya mendorong pesantren untuk membuat kajian keagamaan secara virtual tidak pernah benar-benar berhasil, hingga kemudian pandemi hadir dan membuka pikiran banyak pesantren untuk juga terlibat dalam mendampingi masyarakat belajar agama secara virtual. Kini, pesantren-pesantren saling berlomba dalam kebaikan dengan menghadirkan pengajian-pengajian virtual yang diampu oleh para kiai dengan validalitas keilmuan yang tidak perlu dipertanyakan.
Di internet, kiai hadir
Sebagai sebuah metode dakwah yang juga merupakan proses pendidikan, ngaji online mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, jangkauan audience yang luas. Kajian agama yang biasanya hanya bisa dinikmati santri yang bermukim di pesantren kini juga bisa dinikmati oleh siapa saja. Kedua, ngaji online yang yang dilakukan secara streaming dan disimpan ragam platform memberikan keleluasaan bagi audiens untuk bisa menentukan waktu belajar. Ketiga, kajian online bisa memberikan instant feedback bagi tiap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Menggunakan mesin pencari, segala pertanyaan tentang kajian keagamaan bisa ditemukan jawabannya dengan banyaknya tema kajian keagamaan yang beragam.
Uniknya, karena menyadari kemungkinan kajian ini dinikmati banyak kalangan, sebagian besar kajian keagamaan virtual memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai syarh atau penjelasan secara kontekstual meskipun tetap menggunakan bahasa daerah sebagai metode pemaknaan kata per kata. Misalnya, kiai Jawa menggunakan utawi-iki-iku. Para Ajengan di wilayah Sunda masih memakai ari-eta-naon.
Demikian yang saat ini dilakukan oleh Abuya kami, KH Bisyri Imam (Pengasuh Ma’had Al-Shighor, Pesantren Gedongan). Dengan sangat sabar beliau merekam kajian kitab “Mukhtasar Ihya Ulum Al-Diin” secara mandiri dan menyebarkannya melalui messaging apps kepada para santri dan alumni.
Contoh lain, seorang Kiai muda, Gus Ulil Abshar Abdallah, memilih menggunakan Bahasa Indonesia, baik ketika menerjemahkan makna harfiah ataupun menjelaskan konteks kalimat dalam kajian kitab-kitab turats. Dalam ranah ngaji online, Gus Ulil dianggap sebagai pioner ngaji online ketika beliau mengampu ngaji kitab Ihya Ulumuddin dan al-Munqidl min al-Dzahalal melalui live streaming Facebook sejak tahun 2017.
Menarik juga apa yang dilakukan oleh Gus Muhyidin Basroni ketika mengajar kitab Risalah Ahlissunnah Waljamaah karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari melalui live streaming Facebook-nya. Agar manfaatnya bisa dirasakan dunia internasional, beliau memilih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kajian.
Ala kulli haal, kehadiran pesantren, kiai, dan para santri di ruang digital menjadi warna tersendiri untuk kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia. Sebagai ujung tombak Islam moderat di Indonesia, kehadiran pesantren dan kajian keagamaan di dalamnya di ruang digital menjadi krusial dalam upaya memoderasi keberagamaan masyarakat Indonesia.
Masa depan ngaji online
Maraknya ngaji online di ruang siber patut kita apresiasi dan kita dukung akar keberadaannya tidak hanya pada masa pandemi saja. Perlu kita akui bersama, bagaimana pun, bagi sebagian kalangan pesantren ngaji online hanyalah alternatif nomor dua jika mulazamah kepada kiai mengalami kendala. Tapi tentu saja Mala yudraku kulluh, la yutraku kulluh.
Harapan besar kita titipkan pada budaya ngaji online, semoga selalu menjadi rutinitas para santri dan alumni, juga masyarakat yang ingin menggali khazanah Islam lebih dalam lagi kapan saja, di mana saja.
Pesantren sebagai laboratorium keilmuan Islam yang kredibel dan tepercaya juga para kiai dan ulama yang otoritatif menyampaikan pesan agama semoga selalu mampu menjawab kebutuhan publik yang saat ini menyukai belanja ilmu dan fatwa di ruang digital. Kita juga perlu bersama memastikan konten-konten keagamaan yang hadir dari pesantren, asatiz, dan para kiai yang jelas sanad keilmuannya semakin established dan optimal dalam memenuhi ruang virtual kita.