Ikhbar.com: Di sudut pusat Kota Cape Town, berdiri gereja katedral tertua di Afrika Selatan. Setiap Rabu selama lebih dari setahun terakhir, sekelompok orang berkumpul di tangga batu bangunan bergaya gotik tersebut dengan membawa poster dan mengenakan keffiyeh Palestina. Mereka menyerukan diakhirinya perang Israel di Gaza.
“Kita semua merasakan trauma menyaksikan kekejaman ini, tetapi kita menemukan kedamaian dalam kebersamaan,” kata aktivis perwakilan Muslim dari Masjid Claremont, Rashied Omar, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, pada Sabtu, 12 Oktober 2024.
Bersama Omar, demonstran dari berbagai latar belakang, termasuk aktivis Kristen dan Yahudi menggelar aksi damai. Salah satunya adalah Megan Choritz dari organisasi “South African Jews for a Free Palestine.”
“Kami telah bertemu selama lebih dari 50 minggu, apapun cuacanya, untuk menunjukkan solidaritas bagi rakyat Palestina,” jelas Omar.
Teriakan “Bebaskan Palestina!” bergema seiring lalu lintas siang hari, dengan beberapa pengendara mobil turut membunyikan klakson sebagai tanda dukungan. Poster-poster yang mereka bawa menjadi pengingat akan kekerasan brutal yang telah merenggut lebih dari 42.000 nyawa di Gaza sejak Oktober 2023 lalu.

Baca: Pendeta Yahudi: Tingkah Israel Sangat Menjijikkan
Katedral perjuangan sosial
Katedral St George, yang dikenal sebagai “Gereja Rakyat”, telah lama menjadi simbol perlindungan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Selama era apartheid, pintu gereja Anglikan ini selalu terbuka bagi semua ras, dan di masa-masa terburuk perjuangan anti-apartheid pada 1980-an, katedral ini berdiri teguh melawan rezim kulit putih minoritas yang berkuasa.
Imam Rashied Omar menjadi aktivis sejak 1976, yakni tahun ketika anak-anak sekolah kulit hitam Afrika Selatan turun ke jalan menentang sistem pendidikan yang dinilai rasis. Di bawah rezim apartheid, Omar kerap menghadiri berbagai demonstrasi, doa bersama, dan aksi di katedral ini bersama para tokoh anti-apartheid seperti mendiang Uskup Agung Desmond Tutu.
“Pelajaran besar yang saya dapat dari Uskup Tutu adalah bahwa ketidakadilan dalam bentuk apa pun harus dilawan,” ungkap Omar.
Tutu, yang meraih Nobel Perdamaian pada 1984 dan memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, kerap menyamakan tindakan Israel di Palestina dengan penindasan yang dialami warga kulit hitam Afrika Selatan selama apartheid. Hingga akhir hayatnya pada 2021, Tutu tetap menjadi pengkritik vokal terhadap pendudukan Israel di Palestina.
Baca: Pendeta di Gaza Ungkap Janji Palsu Israel Lindungi Kristen Palestina
Tempat perlindungan aktivis
St George’s tidak hanya menjadi simbol perlindungan selama apartheid, tetapi juga berfungsi sebagai pusat aktivitas sosial hingga kini. Imam Omar mengatakan bahwa katedral ini terus melanjutkan warisan Uskup Tutu dengan memperjuangkan keadilan sosial, baik itu untuk Palestina, Sudan, atau Republik Demokratik Kongo (DRC).
Pastor Edwin Arrison, yang pernah bekerja bersama Uskup Tutu, juga menganggap katedral ini sebagai rumah bagi para aktivis.
“Tempat ini memberikan dukungan dan semangat, terutama di momen-momen tergelap,” ujar Arrison, yang ditahan beberapa kali oleh polisi apartheid selama perjuangannya melawan sistem rasis tersebut.
Arrison kini terlibat dalam Komite Pengarah Konferensi Anti-Apartheid Afrika Selatan, sebuah inisiatif yang dibentuk oleh berbagai kelompok solidaritas Palestina di negara itu untuk menentang apartheid Israel.

Baca: Israel Larang Kristen Palestina Rayakan Paskah di Yerusalem
Simbol perlawanan abadi
St George’s memiliki sejarah panjang sebagai tempat perjuangan keadilan. Bangunan katedral ini pertama kali didirikan pada 1834 dan dibangun kembali pada awal abad ke-20 oleh arsitek Inggris, Herbert Baker. Struktur gotik yang megah ini terbuat dari batu pasir yang diambil dari Gunung Table, dengan jendela kaca patri yang indah menghiasi interiornya.
Pada 2014, bangunan katedral ini diakui sebagai situs warisan provinsi oleh Otoritas Warisan Cape Barat, yang menyebutnya sebagai simbol penting perlawanan terhadap apartheid. Katedral ini juga dikenal sebagai tempat perlindungan bagi banyak aktivis anti-apartheid yang dikejar oleh polisi.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di St George’s adalah Pawai Perdamaian pada September 1989. Dipimpin oleh Uskup Tutu, sekitar 30.000 orang turun ke jalan-jalan Cape Town untuk memprotes apartheid. Polisi apartheid menembakkan gas air mata dan menyiram para demonstran dengan meriam air berwarna ungu untuk menandai siapa saja yang terlibat dalam aksi tersebut. Banyak dari mereka kemudian mencari perlindungan di dalam katedral ini.
Kini, katedral ini tetap menjadi simbol perlawanan. Jendela kaca patri di pintu masuknya menghormati Uskup Tutu, yang abunya juga disemayamkan di katedral tersebut.
“Matahari yang digambarkan dalam kaca patri melambangkan harapan akan era baru, simbol masa depan yang cerah bagi Afrika Selatan dan rakyatnya,” ujar Pastor Michael Weeder, dekan katedral sebelumnya, saat upacara penghormatan pada 2021.

Baca: Wujud Solidaritas terhadap Gaza, Gereja di Suriah Sepakat Batasi Perayaan Natal
Pusat harapan
Bagi banyak orang, St George’s lebih dari sekadar bangunan bersejarah. Direktur Kantor Hubungan Katolik Afrika Selatan, Pastor Peter-John Pearson menyebut katedral ini sebagai “pusat harapan.”
Menurutnya, energi dan semangat perlawanan yang ada di katedral ini menyebar ke komunitas-komunitas di seluruh Cape Town, Afrika Selatan, dan bahkan benua Afrika.
“Simbol-simbol ini menjaga harapan tetap hidup,” ujar Pearson.
“Tempat ini menjadi jangkar harapan.”
Di era pasca-apartheid, katedral ini terus menjadi rumah bagi berbagai gerakan sosial, termasuk demonstrasi menentang korupsi selama masa pemerintahan Presiden Jacob Zuma dan, baru-baru ini, dukungan untuk kebebasan Palestina, Sudan, dan DRC.