Ikhbar.com: Selama 10 bulan, Hussein -bukan nama sebenarnya- masih mengenakan pakaian yang sama sejak ia dibekuk tentara Israel pada 3 Oktober 2023. Bahkan, saat dibebaskan dari penjara, remaja berusia 16 tahun itu tampak memakai celana yang kusam karena bekas lumuran darahnya sendiri yang mengucur deras tahun lalu.
Alkisah, beberapa hari sebelum perang Israel-Hamas bergejolak di Gaza pada 7 Oktober 2023, paha bagian kanan Hussein ditembak pasukan Israel dari sebuah menara pengawas di dekat Kota Hebron, Tepi Barat. Hussein yang merasa tak bersalah, tiba-tiba harus jatuh ke tanah sembari melihat dua tentara Israel berjalan ke arahnya. Dua serdadu Zionis itu, lantas memukuli dan menendang bagian kepala, hingga ia benar-benar lunglai, kemudian pingsan.
“Saya terbangun tiga hari kemudian ketika sudah berada di rumah sakit. Tetapi petugas hanya diberitahu bahwa saya telah menjalani operasi dan akan segera dibawa ke Penjara Ofer, di Tepi Barat,” ungkap Hussein, dikutip dari Al Jazeera, Ahad, 1 September 2024.
Hussein menyebut, itulah pelayanan medis pertama sekaligus terkahir yang pernah ia terima, bahkan oleh nyaris seluruh penghuni penjara.
Baca: Israel Bunuh 130 Warga Palestina per Hari
Pelanggaran sistematis
Hussein merupakan satu dari ratusan anak yang ditahan Israel selama bertahun-tahun. Jumlah tahanan anak-anak kemudian terus berlipat ganda sejak Israel memulai serangannya ke Gaza sambil menguatkan kampanye penangkapan massal di Tepi Barat .
Hussein yang dulu suka pergi ke pusat kebugaran dan menantang dirinya untuk mengangkat beban lebih banyak, kini ia harus pasrah karena pincang. Hussein membutuhkan kruk untuk berjalan dan perlu menghabiskan sebagian besar hari-harinya berbaring di kasur.
“Kata dokter, saya memerlukan operasi implan sendi setelah mencapai usia 18 tahun,” ujarnya.
“Saya benar-benar kesulitan. Saya tidak bisa berjalan dengan baik atau bertemu dengan teman-teman saya lagi,” tambahnya.
Sejumlah kelompok aktivis kemanusiaan menyebut, kelalaian medis hanyalah salah satu dari banyak bentuk penganiayaan, penyiksaan, penghinaan, dan perlakuan buruk yang dihadapi tahanan Palestina di penjara Israel. Bersama badan-badan PBB, mereka juga telah mengungkap sejumlah pelanggaran sistematis yang sedang dan telah dilakukan Zionis.
Juru Bicara Masyarakat Tahanan Palestina, Amani Sarahneh mengungkapkan, pihaknya telah mendokumentasikan lebih dari 700 penangkapan anak-anak sejak 7 Oktober 2023. Saat ini, sebanyak 250 anak masih berada dalam tahanan Israel.
“Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, jumlah saat ini sangat tinggi,” kata dia.
Sarahneh juga menyaksikan bahwa anak-anak di sana mengalami penganiayaan dan siksaan yang sama beratnya dengan tahanan dewasa.
“Tahanan Palestina dipukuli, dibiarkan kedinginan dalam jangka waktu lama, dan tidak diberi makanan, tidur, air, dan perhatian medis, sebagaimana yang juga terungkap dalam laporan Kantor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB bulan lalu,” katanya.
Selain Hussein, tahanan anak bernama Wassim juga memberikan kesaksian serupa. Saat keluar dari penjara, ia mengidap kekurangan vitamin, zat besi, dan kalsium yang parah.
“Penjara itu, tidak layak huni,” katanya.
“Saya meminta perawatan medis setiap hari, tetapi tidak ada dokter yang datang, mereka bahkan tidak ada,” tambah Wassim.
Membenarkan kesaksian Hussein, Wassim mengatakan bahwa ia dan sembilan tahanan lain di selnya hanya diberi menerima makanan dalam wadah berupa gelas plastik yang berukuran sangat kecil.
“Biasanya hanya berupa nasi putih yang kadang-kadang kurang matang. Kami makan, merasa kenyang selama lima menit, lalu melanjutkan sisa hari seolah-olah kami sedang berpuasa,” katanya.
“Kami juga mengemis minta air, hingga akhirnya terpaksa harus minum dari air yang terkontaminasi di kamar mandi,” kenangnya.
Otoritas penjara Israel menutup kantin tempat para tahanan dapat membeli makanan dan kebutuhan pokok, serta menyingkirkan peralatan listrik, termasuk kompor dan ketel.
Ayah Hussein, Omar, yang juga bukan nama sebenarnya, mengaku dicekam rasa khawatir selama putranya berada di penjara.
“Setelah perang di Gaza, ketika kami mendengar betapa buruknya keadaan warga Palestina di penjara Israel, kami merasa hancur,” kata Omar.
“Kami menangis, siang dan malam,” tambahnya.
Omar berharap Hussein dibebaskan pada November tahun lalu, tepatnya ketika Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran puluhan tahanan. Nahasnya, tak ada nama Hussein dalam daftar tahanan yang dibebaskan.
“Mereka merampas masa kecil dan sisa hidupnya,” kata Omar.
Menurut Omar, Hussein yang dulunya pendiam kini tengah berjuang untuk kembali menyatu dengan masyarakat. Di tengah keramaian, ia sering kali menyendiri di sudut dan sering terbangun karena mimpi buruk.
Baca: Belum Setahun, Israel telah Membunuh 40 Ribu Lebih Warga Palestina di Gaza
Sempit, penuh sesak, dan sangat kotor
Kisah lainnya, dari Kota Al-Mughayyir, dekat Ramallah, seorang anak laki-laki Palestina telah dibebaskan pada 8 Agustus 2024 lalu. Namanya, Ahmed Abu Naim. Remaja yang kini berusia 18 tahun itu memang sering keluar masuk penjara Israel sejak masih berusia 15 tahun.
“Namun, penangkapan terakhir saya terasa jauh lebih buruk dari pada sebelumnya,” kata Naim.
Kala ditangkap pertama kali, Naim mengaku hanya ditahan selama dua hari. Kemudian, yang kedua kalinya ditahan selama lebih dari setahun. Sedangkan yang terakhir, ia menghabiskan enam bulan di tahanan.
“Tapi, pengalamannya seribu kali lebih pahit dari sebelumnya. Para petugas tidak memperlakukan kami secara berbeda meskipun kami masih di bawah umur,” katanya.
“Kami dibukuli, bahkan kadang-kadang disemprot gas,” tambahnya.
Abu Naim juga menceritakan bahea kondisi penjara anak-anak saat ini sangat kumuh. Ia mengaku baru pulih dari kudis, penyakit kulit yang lazim menyebar di penjara Megiddo, Israel, tempat ia ditahan.
“Standar kebersihannya sangat buruk. Kami tidak diizinkan membersihkan dan tidak memiliki akses ke sabun atau deterjen,” katanya.
Sel yang penuh sesak karena sering kali menampung tahanan dua kali lipat lebih banyak dari kapasitas. Banyak dari tahanan terpaksa harus tidur di lantai atau kasur yang berjamur.
“Semua orang di sana terkena kudis, termasuk saya,” katanya. “Tapi, sekali lagi, tidak ada respons medis terhadap wabah tersebut,” sambung Abu Naim.
Setelah serangan 7 Oktober, penggeledahan sel menjadi lebih sering. Ketika sipir penjara memasuki sel, semua tahanan harus berlutut, dengan tangan di atas kepala. Jika tidak, mereka akan melepaskan anjing yang dibawa untuk menerkam tahanan yang dianggap membangkang.
“Para penjaga akan memukul siapa saja, tidak peduli, meski luka-luka sisa penangkapan yang dialami tahanan itu belum kering. Mereka akan menendang perut, tulang rusuk, hingga bahu,” katanya.
Selain itu, kunjungan keluarga, serta akses ke pengacara juga sepenuhnya dihentikan. Abu Naim pun mengaku tidak diberi hak untuk mendapatka informasi dari televisi atau radio, terutama dalam 50 hari pertama serangan Israel di Gaza.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar. Setiap satu atau dua bulan, kami akan mendengar berita dari tahanan baru,” katanya.
“Desa saya diserang oleh pemukim ilegal dan ayah saya tertembak dan terluka, tetapi saya baru mengetahuinya ketika saya tiba di rumah,” tambahnya.