Ikhbar.com: Rafah, distrik kecil di Jalur Gaza, Palestina, kini bisa disebut sebagai wilayah dengan penduduk terpadat di dunia. Kota dekat perbatasan Mesir-Palestina yang hanya seluas 55 kilometer per segi ini telah dipadati oleh puluhan ribu pengungsi korban kekejaman militer Israel.
Rafah kini dipenuhi tenda. Bangunan rapuh itu berderet di trotoar demi menampung lebih dari 90% populasi Gaza yang telah diusir paksa Pemerintah Zionis.
Rafah terletak di bagian paling selatan Jalur Gaza, sekitar 107 km barat daya dari Yerusalem. Sebelumnya, kota kecil ini sudah dihuni oleh sekitar 300.000 populasi.
Baca: Tidak cuma Tanah, Israel juga Klaim Makanan Khas Palestina
Jalanan penuh tenda
Sejak perang Israel-Hamas meletus 7 Oktober 2023 lalu, Rafah menjadi pelarian bagi warga Gaza yang dihujani serangan bom baik dari udara, darat, maupun laut. Rafah adalah sisa dari sepetak tanah yang oleh Israel disebut sebagai zona aman, tetapi mereka tetap menggempurnya tanpa rasa kemanusiaan.
Saat tahapan pengungsian dimulai, ribuan warga Gaza tiba di Rafah dengan mobil, truk, gerobak hewan, dan berjalan kaki. Karena terbatasnya ruang penampungan, para pengungsi pun dengan terpaksa mendirikan tenda di sepanjang tepi jalan.
Juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Adnan Abu Hasna mengatakan, kondisi Rafah kian padat dan semerawut setelah Israel memaksa penghuni kamp pengungsi di Bureij, Nuseirat, Al-Maghazi, dan Khan Younis untuk segera pindah.
“Menanggapi peringatan tersebut, ribuan orang mengungsi ke Rafah. Padahal, sudah tidak ada lagi ruang kosong untuk mendirikan tenda. Beberapa orang terpaksa tidur di kendaraan, sementara yang lain tidur di tempat terbuka,” kata Abu Hasna, dikutip dari Al Ahram, Kamis, 11 Januari 2024.
Pada awal perang, tentara Israel memaksa penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke wilayah selatan Khan Younis dan Rafah. Para pengungsi pun kemudian membanjiri kedua daerah itu hingga mengakibatkan kondisi kepadatan yang sangat tinggi.
Namun, anehnya, sekitar sebulan lalu, tentara Israel memulai pertempuran darat di Khan Younis, di selatan Jalur Gaza, dan serangan serupa di Kota Gaza bagian utara. Mereka pun kembali memaksa para pengungsi di Khan Younis dan penduduk aslinya untuk keluar dan pindah ke Rafah.
Kini, Rafah seakan sudah tidak mampu menampung gelombang pengungsi yang datang terus-menerus.
“Padahal, di Khan Younis, dengan luas hampir dua kali Rafah, sudah cukup berhasil menampung para pengungsi. Sementara, Rafah, kini sudah tidak mampu lagi mengatasi gelombang pengungsi yang mencari perlindungan dari pengeboman yang terus terjadi,” kata dia.
Baca: Israel Curi dan Jual Organ Tubuh Korban Tewas Palestina
Minim fasilitas
Sementara itu, Wali Kota Rafah, Ahmed Al-Suf mencatat, kini sudah ada lebih dari satu juta pengungsi yang tinggal di jalanan Rafah. Daerah kemanusiaan Al-Mawasi di selatan Jalur Gaza juga kewalahan. Sekarang tidak ada lagi ruang yang tersedia, baik berupa gedung sekolah maupun tempat penampungan milik PBB.
“Jumlah apartemen yang disewakan sangat sedikit. Mereka putus asa. Para pengungsi bahkan terpaksa menyewa ruang bawah tanah yang sangat dingin dan rawan penyakit,” kata Al-Suf.
Belum lagi, kondisi Rafah yang sebenarnya sangat minim fasilitas dan infrastruktur, semakin menjadikan nasib para pengungsu kian memburuk.
“Hampir satu juta pengungsi saat ini menghuni 44 sekolah UNRWA, 27 sekolah negeri, klub olahraga, lembaga publik dan swasta, toko, gudang, dan rumah kerabat dan teman,” kata dia.
“Itu, di luar dari Rafah yang kini sudah menjadi ‘hutan tenda,” sambung Al-Suf.
Para pengungsi mendirikan tenda-tenda itu dari nilon ringan dan lembaran timah. Sejumlah organisasi kemanusiaan memang telah menyediakan tenda yang lebih layak beserta fasilitas air bersih dan toilet. Sayangnya, bantuan itu tidak sebanding dengan jumlah pengungsi yang terus membeludak.
UNRWA juga telah menuntut gencatan senjata demi bisa kembali menyalurkan bantuan kepada para pengungsi di Gaza sekaligus bisa mengakhiri proses pengungsian paksa tersebut.
“Namun, perang telah menjadikan tidak ada lagi tempat di Gaza yang aman, terutama dari ancaman kelaparan,” kata Al-Suf.
Baca: Al-Mawasi, Kurang dari Separuh Luas Bandara Soetta untuk Tampung 1,8 Juta Pengungsi Gaza
Kematian dan keputusasaan
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Martin Griffiths menyebut Gaza sekarang sebagai tempat kematian dan keputusasaan.
“Saya sudah memperingatkan akan terjadinya bencana kesehatan masyarakat, dengan risiko penyakit menular menyebar dengan cepat di tempat penampungan yang penuh sesak dan diperburuk dengan kebocoran limbah,” katanya.
Seorang pejabat di Program Pangan Dunia (WFP), Ahmed Rais mengatakan, para pengungsi yang saat ini tinggal di tenda dan tempat penampungan sementara juga terancam kekurangan makanan, bantuan medis, dan air bersih.
“Blokade yang diberlakukan Israel sejak 7 Oktober telah menyebabkan terhentinya pasokan bahan bakar dan gas. Organisasi bantuan internasional telah mengeluarkan peringatan mengenai ancaman kelaparan dan potensi penyebaran epidemi ini,” katanya.
Rais memperingatkan bahwa Rafah juga berada di ambang bencana kemanusiaan seiring adanya kepadatan penduduk yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Bantuan yang ada saat ini hanya mencakup satu persen dari populasi Rafah,” kata Rais.
Salah satu pengungsi yang tinggal di Tal Al-Sultan, sebelah barat Rafah, Mahmoud Al-Aidy mengaku masih sangat ragu jika daerah yang kini ditinggalinya itu sebagai tempat aman lantaran Israel masih saja meluaskan daerah pengeboman dan serangan di Gaza.
“Tidak ada lagi tempat yang aman. Putra saya Maher menderita luka parah akibat pengeboman sebuah rumah di sebelah kami, yang memaksa kami untuk pindah lagi ke bagian timur,” kata Al-Aidy.
Al-Aidy mengatakan bahwa ia dan tetangganya sering terbangun karena melihat pemandangan mengerikan berupa bangunan yang hancur, korban yang terjebak di bawah reruntuhan, dan orang-orang yang panik mencari tanda-tanda kehidupan di tengah kekacauan. Berbekal peralatan sederhana, mereka melakukan upaya untuk menyelamatkan korban luka atau mengambil mayat dari puing-puing.
Namun, hingga kini belum ada yang bisa menghentikan kebengisan Israel. Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Gaza sudah mencatat sebanyak 23.084 warga Palestina telah tewas dan 58.926 orang lainnya luka-luka akibat kebiadaban mereka.