Ikhbar.com: Warga di negara-negara berbahasa Inggris seperti Inggris, Amerika Serikat (AS), Australia, dan Kanada lebih khawatir terhadap perkembangan kecerdasan buatan (AI) dibandingkan negara-negara ekonomi besar di Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Italia.
Perbedaan ini mencerminkan tingkat kepercayaan yang berbeda terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatur teknologi yang berkembang pesat tersebut.
Hasil survei Ipsos Mori terhadap 23.000 responden di 30 negara menunjukkan bahwa dua pertiga warga Inggris merasa gelisah dengan kehadiran AI dalam produk dan layanan, sementara kurang dari setengahnya percaya pemerintah Inggris mampu mengatur AI secara bertanggung jawab.
Baca: Maju Kena Mundur Kena, Uni Eropa Pusing Dampak Lingkungan Industri AI
Sebaliknya, hanya separuh atau kurang dari warga di Prancis, Jerman, dan Italia yang merasa cemas terhadap penggunaan AI.
“Di negara-negara Anglosfer seperti Inggris, Amerika Serikat (AS), Kanada, Irlandia, dan Australia, kekhawatiran jauh lebih dominan daripada antusiasme,” ujar Wakil Presiden Senior Ipsos Mori, Matt Carmichael, dikutip dari The Guardian, pada Kamis, 5 Juni 2025.
“Sementara di pasar Eropa, kekhawatiran lebih rendah, meskipun tingkat kegembiraannya juga sedang-sedang saja. Kawasan Asia Tenggara justru menunjukkan sikap paling positif,” tambahnya.
Tingkat kepercayaan terhadap regulasi pemerintah terhadap AI paling rendah di AS, Jepang, Hungaria, dan Inggris.
Pemerintah Inggris bahkan menunda rancangan undang-undang tentang regulasi AI, demi menyesuaikan diri dengan kebijakan pro-bisnis Donald Trump di AS.
Di sisi lain, Uni Eropa sudah mengesahkan EU AI Act yang melarang AI berisiko tinggi, seperti sistem pemeringkatan sosial, dan mewajibkan transparansi konten buatan AI.
India juga mencatat kekhawatiran tinggi terhadap AI, terutama setelah kampanye pemilu mereka tahun lalu dipenuhi video deepfake. Meski begitu, kawasan Asia Tenggara justru menjadi wilayah paling antusias terhadap AI.
Warga di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, terutama yang terdidik dan tinggal di wilayah urban, menunjukkan antusiasme hampir dua kali lipat dibanding warga Inggris dan AS.
Namun, kekhawatiran terhadap dampak AI terhadap pekerjaan tetap meluas. Di Inggris, sepertiga warga khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka sepenuhnya.
Secara global, hanya 31% responden percaya AI akan memperbaiki pasar kerja, sementara 35% yakin justru akan memperburuknya.
Di Thailand, 74% merasa pekerjaan mereka bisa digantikan AI dalam lima tahun ke depan; angka ini turun drastis di Swedia (14%) dan moderat di AS, Inggris, dan Australia (25%).
Baca: AI di Twitter Dituding Rasis
Meskipun mayoritas responden tidak menyukai konten berita, film, atau iklan yang dibuat AI, mereka juga percaya bahwa AI akan menjadi produsen utama konten-konten ini di masa depan, termasuk acara TV, iklan lowongan kerja, hingga pertandingan olahraga antara pemain virtual.
Carmichael menyatakan, perkembangan ini bisa berujung pada dua arah: penerimaan publik yang makin luas atau justru penolakan besar-besaran.
Di Inggris, sejumlah musisi ternama seperti Kate Bush dan Elton John telah memulai kampanye perlindungan hak cipta atas karya mereka dari pelanggaran oleh perusahaan teknologi yang menggunakan large language models (LLMs).
Di AS, sejumlah penulis seperti John Grisham dan Ta-Nehisi Coates juga menggugat OpenAI dan Microsoft atas dasar pelanggaran hak cipta.