Maju Kena Mundur Kena, Uni Eropa Pusing Dampak Lingkungan Industri AI

Dari enam pusat data yang dioperasikan Google di Eropa, situsnya di Belgia dekat Mons di Wallonia mengonsumsi air paling banyak untuk mendinginkan fasilitasnya. Foto: The Brussel Times/Belga

Ikhbar.com: Uni Eropa tengah menghadapi dilema besar antara ingin menjadi pemimpin dalam teknologi kecerdasan buatan (AI), tetapi juga memegang komitmen sebagai pelopor aksi iklim global melalui target netral karbon.

Sayangnya, dua cita-cita besar itu justru mulai saling berbenturan.

Laporan yang dikutip dari Anadolu Agency pada Jumat, 23 Mei 2025, mencatat kekhawatiran para pakar lingkungan terhadap perkembangan AI yang melaju tanpa rem.

Mereka menyoroti dampak besar pusat data AI terhadap lingkungan, mulai dari konsumsi energi yang masif, penggunaan air yang tak sedikit, hingga ketergantungan pada bahan mentah langka.

Baca: Kecerdasan Buatan Rusak Lingkungan, Peneliti: Setara Emisi 123 Mobil Mondar-mandir dalam Setahun

Data dari PBB mengungkap bahwa hanya untuk membuat satu perangkat komputer, dibutuhkan sekitar 800 kilogram material mentah.

Sementara itu, sistem pendingin server-server raksasa dikabarkan memerlukan air dalam jumlah yang mencengangkan, bahkan enam kali lebih banyak dari kebutuhan air tahunan Denmark.

Badan Energi Internasional memprediksi bahwa konsumsi listrik industri AI bisa meningkat sepuluh kali lipat, dalam kurun waktu 2023 hingga 2026.

Profesor Shaolei Ren dari University of California, Riverside, menjelaskan bahwa pertumbuhan AI membawa jejak karbon yang lebih cepat dibanding teknologi lainnya. Ironisnya, banyak pusat data AI masih bergantung pada pembangkit listrik berbasis gas alih-alih energi terbarukan.

Meskipun Uni Eropa telah memberlakukan aturan pelaporan jejak karbon, Ren menilai kebijakan tersebut masih belum menyentuh akar persoalan.

Ia mendorong agar pengembangan AI dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi efisiensi dan data, tapi juga arah kebijakan dan ketergantungan ekonomi yang ditimbulkan.

Perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Google pun belum sepenuhnya beralih ke jalur hijau. Emisi karbon mereka justru melonjak tajam akibat pembangunan pusat data baru, Microsoft naik 30 persen dan Google meningkat 48 persen dibandingkan tahun 2019.

Baca: Perusahaan Induk Facebook bakal Bikin AI Bertenaga Nuklir

Seorang ahli strategi lingkungan, Andrew Winston, menyebut tren ini sebagai “bom waktu ekologis.” Ia mengingatkan bahwa semakin besar energi yang digunakan, efisiensinya tak selalu sebanding.

Menurutnya, AI sejatinya hanyalah alat, yang bisa digunakan untuk melindungi bumi, atau sebaliknya, mempercepat kerusakan lingkungan, tergantung siapa yang mengendalikan dan untuk tujuan apa.

Winston mengingatkan, waktu semakin menipis. AI bisa menjadi penyelamat atau perusak bumi, dan keputusan yang diambil hari ini akan menentukan ke mana arah masa depan akan berpihak.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.