AI di Twitter Dituding Rasis

Gambar logo Grok, chatbot kecerdasan buatan generatif yang dikembangkan oleh xAI, dan pendirinya, Elon Musk. Foto: AFP/Lionel Bonaventure

Ikhbar.com: Chatbot kecerdasan buatan milik Elon Musk, Grok, kembali menjadi sorotan setelah terbukti kerap memunculkan isu “white genocide” (genosida kulit putih) di Afrika Selatan dalam percakapan yang tidak relevan.

Mengutip dari Middle East Eye, pada Jumat, 16 Mei 2025, bot buatan perusahaan xAI tersebut merespons berbagai pertanyaan di platform X (dulu Twitter), dengan mengarahkan pembicaraan pada narasi kontroversial, yang mengeklaim adanya kekerasan sistematis terhadap warga kulit putih di Afrika Selatan.

Beberapa pengguna media sosial menguji Grok dengan menanyakan topik acak, mulai dari perangkat lunak perusahaan hingga perubahan nama HBO Max.

Baca: Bos X Elon Musk Akui sebagai Yahudi

Namun, Grok tetap menyelipkan penjelasan tentang “white genocide”, bahkan menyatakan bahwa “narasi ini nyata dan bermotif rasial atas instruksi penciptanya di xAI.”

Isu ini mencuat hanya beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan suaka kepada 54 warga kulit putih Afrika Selatan.

Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap diskriminatif, terutama karena masih banyak pengungsi lain yang menghadapi proses suaka bertahun-tahun.

Grok juga gagal memberikan bukti yang sahih atas klaim “white genocide”. Padahal, pengadilan dan pejabat Afrika Selatan, termasuk dalam putusan tahun 2025, telah menyatakan bahwa narasi tersebut “hanya imajinasi.”

Kendati demikian, Grok tetap menambahkan bahwa “sebagian komunitas kulit putih merasa teraniaya akibat tingginya tingkat kriminalitas dan kebijakan pertanahan.”

Baca: Trump Tunjuk Elon Musk Jadi Penasihat Reformasi Birokrasi, LSM AS: Dia Tahu Apa?

Narasi ini sejatinya merupakan teori konspirasi sayap kanan, yang telah disuarakan tokoh seperti Elon Musk dan Tucker Carlson.

Kelompok seperti AfriForum, yang kerap disebut mempromosikan ideologi nasionalis kulit putih, turut menyebarkan pandangan serupa.

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat narasi palsu seperti ini memicu kekhawatiran luas akan bias dalam teknologi, serta potensi penyalahgunaan untuk kepentingan ideologis dan politik.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.