Ikhbar.com: Wacana relokasi warga Gaza, Palestina yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mendapat penolakan keras dari rakyat setempat. Mereka menegaskan tidak akan meninggalkan tanah airnya, meski terus menghadapi tekanan dan agresi dari Israel.
Sebelumnya, Trump mengusulkan agar warga Gaza dipindahkan ke negara tetangga seperti Yordania dan Mesir. Ia mengklaim langkah ini bertujuan untuk menjaga keamanan di wilayah tersebut.
“Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita hanya membersihkan semuanya’,” ujar Trump dalam pernyataannya.
Pernyataan ini langsung menuai kecaman dari publik internasional. Banyak pihak menilai usulan tersebut sebagai upaya pemindahan paksa atau sejalan dengan agenda kelompok sayap kanan Israel yang ingin memperluas permukiman ilegal di Gaza.
Salah satu warga Gaza Utara, Saqr Maqdad menegaskan bahwa ia tidak akan meninggalkan tanah kelahirannya, meskipun wilayah itu telah hancur akibat serangan Israel. Baginya, Palestina bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas yang tidak bisa ditinggalkan.
Baca: Jerman Kecam Rencana Donald Trump Usir Warga Palestina dari Gaza
“Trump berkhayal jika berpikir kami akan pergi begitu saja. Setelah semua penderitaan ini, kami tetap bertahan. Ini rumah kami, dan kami tidak akan pernah meninggalkannya,” ujarnya dikutip dari Al Jazeera pada Rabu, 29 Januari 2025.
Ia juga menegaskan bahwa keteguhannya itu bukan hanya miliknya, tetapi juga milik seluruh rakyat Gaza. Menurutnya, bertahan di tanah sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap pengusiran paksa.
“Tidak ada skenario politik yang bisa mengubah tekad kami. Setiap langkah kami kembali ke Gaza Utara adalah perlawanan terhadap pengusiran. Kami lahir di sini, dan kami akan mati di sini,” tegasnya.
Sikap tegas juga dilayangkan salah satu warga di Khan Younis bernama Abu Suleiman Zawaraa. Petani berusia 76 tahun itu tetap bertahan meskipun lahannya hancur akibat agresi Israel. Ia kembali menanam pohon zaitun dan jeruk sebagai simbol ketahanan hidup.
“Hidup di antara puing-puing memang sulit, tetapi kami menerimanya sebagai bagian dari perjuangan. Meninggalkan Gaza bukanlah pilihan. Kami telah bertahan dari pemboman dan kehancuran, kami tidak akan menyerah sekarang,” ungkapnya.
Duka mendalam, tekad tak padam
Serangan militer Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah menimbulkan kehancuran besar di Gaza. Data menunjukkan lebih dari 46.700 warga Palestina tewas, termasuk 18.000 anak-anak dan perempuan.
Selain itu, serangan Israel juga mengakibatkan hampir 1,9 juta orang mengungsi, dan lebih dari separuh bangunan di Gaza hancur, termasuk infrastruktur penting seperti jalan dan fasilitas kesehatan.
Meski begitu, semangat rakyat Palestina untuk tetap bertahan tidak surut. Abu Suleiman menegaskan bahwa Trump tidak memahami sejarah dan realitas Palestina.
“Ya, kami mengalami penderitaan yang tak terbayangkan, kehilangan segalanya, dan menghadapi trauma genosida. Tetapi semua ini tidak akan membuat kami menerima relokasi. Kami tidak akan mengulang sejarah Nakba 1948 yang saat itu warga Palestina terusir dari tanahnya dan tidak pernah bisa kembali,” katanya.
Bagi warga Palestina, Nakba adalah luka sejarah yang masih membekas. Peristiwa itu mengingatkan mereka akan risiko meninggalkan tanah sendiri. Karena itulah, banyak yang memilih tetap tinggal, meskipun harus menghadapi kesulitan hidup di tengah reruntuhan.
Israa Mansour, ibu empat anak yang kini tinggal di tenda darurat setelah rumahnya hancur, juga menegaskan pendiriannya.
“Kami tidak pergi bukan karena tidak ada pilihan, tetapi karena ini adalah rumah kami. Bahkan anak-anak saya mengerti pentingnya bertahan di tanah ini,” ujarnya.
Namun, Israa menekankan bahwa bertahan bukanlah hal mudah. Ia menyerukan agar para pemimpin Palestina memberikan dukungan nyata, termasuk akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan kemanusiaan.
“Bagaimana kami bisa melawan pengungsian jika kebutuhan dasar kami tidak terpenuhi? Tanpa makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan, bahkan keluarga paling kuat pun bisa kehilangan harapan,” paparnya.
Bagi rakyat Palestina, bertahan di tanah sendiri bukan sekadar pilihan, melainkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka bertekad untuk tidak menyerah, meski dunia seakan membiarkan penderitaan mereka terus berlangsung.
Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.