Sakit Fisik dan Mental tak Layak Dibeda-bedakan, Kata Penelitian

Ilustrasi kamar rumah sakit. Foto: Unsplash/Bret Kavanaugh.

Ikhbar.com: Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa, batas antara otak dan tubuh dalam dunia medis Barat tidaklah sejelas yang selama ini diyakini. Temuan ini membuka peluang terobosan bagi penanganan berbagai kondisi kompleks.

Kepala Mental Health Neuroscience Lab di Cambridge University, Camilla Nord, mendapati bahwa rasa sakit kronis yang dialaminya bukan semata akibat cedera fisik, melainkan juga dipengaruhi proses neuroplastisitas di otaknya.

Selama berabad-abad, konsep pemisahan antara pikiran dan tubuh telah menjadi dasar dalam budaya dan kedokteran Barat. Model ini membagi penyakit ke dalam kategori “fisik” atau “mental.”

Namun, menurut Nord, tidak ada gangguan kesehatan yang sepenuhnya terlepas dari perubahan biologis di otak. Ia menilai, pemisahan ini bukan hanya keliru, tetapi juga menghambat peningkatan kesehatan yang bisa dicapai melalui pendekatan yang lebih menyeluruh.

Pendekatan dualistik seperti ini sering kali menimbulkan dampak negatif yang sebetulnya dapat dicegah. Sistem layanan kesehatan yang terfragmentasi dengan pemisahan anggaran, serta administrasi antara layanan “fisik” dan “mental” sering kali memperlambat perawatan yang optimal.

Akibatnya, pasien kerap diperlakukan sebagai sekumpulan bagian yang terpisah, bukan sebagai individu yang utuh.

Baca: Beda Makna Musibah, Cobaan, dan Azab dalam Al-Qur’an

“Hal ini merupakan sumber perbaikan yang sangat besar dan belum dimanfaatkan bagi orang-orang yang sakit, dan dengan mengabaikannya, kita membuat orang-orang menjadi lebih sakit daripada yang seharusnya,” ungkap Nord, dikutip dari The Guardian, pada Rabu, 29 Januari 2025.

Functional Neurological Disorder (FND) menjadi contoh nyata dari permasalahan ini. Kondisi yang sering kali dianggap sebagai gangguan “psikologis semata” ini menyebabkan gejala nyata seperti kejang dan kelumpuhan, meskipun tidak ditemukan kerusakan struktural pada otak atau sistem saraf.

Akibatnya, banyak pasien FND yang diragukan validitas penyakitnya, dan tidak mendapatkan perawatan yang memadai.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa banyak penyakit muncul akibat proses otak yang tidak adaptif. Cedera yang pernah dialami, misalnya, dapat meningkatkan sensitivitas otak terhadap cedera serupa di masa depan.

Hal ini berkontribusi pada munculnya gejala fisik yang dihasilkan mekanisme prediktif otak. Eksperimen terhadap tikus menunjukkan fenomena serupa, seperti hewan yang sebelumnya diberi air manis beracun tetap menunjukkan gejala sakit, meskipun racunnya telah dihilangkan.

Hal ini mengindikasikan bahwa otak dapat mengondisikan tubuh untuk mengharapkan hasil negatif, bahkan tanpa pemicu nyata.

Baca: Riset Bahaya Minum Alkohol, Dokter Amerika: Sedikit atau Banyak Sama-sama Sebabkan Kanker

Pendekatan baru dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh ini menawarkan harapan bagi strategi perawatan yang lebih efektif.

Jika otak terus membentuk dan membentuk ulang dirinya, maka perubahan kecil dalam ekspektasi seseorang dapat berkontribusi pada perbaikan gejala. Perspektif ini membuka jalan bagi pengobatan yang lebih komprehensif dan personal.

Namun, perubahan paradigma ini menghadapi tantangan besar. Diperlukan kemauan untuk menembus hambatan institusional dan budaya yang telah mengakar selama berabad-abad.

Pendekatan pengobatan pun harus mengintegrasikan berbagai aspek kognitif, emosional, sosial, dan fisik agar kesehatan dapat ditingkatkan secara menyeluruh. Hanya dengan langkah-langkah ini, potensi besar dalam memahami dan mengobati penyakit secara holistik dapat benar-benar dimanfaatkan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.