Ikhbar.com: Peringkat internasional yang memuat daftar negara-negara paling bahagia se-dunia selalu menyedot perhatian publik. Negara seperti Denmark, yang secara konsisten berada di puncak daftar kebahagiaan global, kerap menjadi sorotan. Gaya hidup “hygge” dari Denmark, yang mengedepankan rasa nyaman, bahkan menjadi tren global dengan harapan bisa membawa kebahagiaan serupa.
Namun, apakah tinggal di negara yang dianggap paling bahagia benar-benar seindah itu? Apa yang terjadi jika seseorang merasa sulit untuk meraih atau mempertahankan kebahagiaan di tengah lingkungan yang dipenuhi orang-orang bahagia?
Hasil penelitian berjudul “Perceiving societal pressure to be happy is linked to poor well-being, especially in happy nations (2022)” yang diterbitkan di Jurnal Nature oleh Brock Bastian, Profesor di Melbourne School of Psychological Sciences, justru menunjukkan sisi lain dari negara-negara tersebut. Studi itu menemukan bahwa di negara-negara dengan peringkat kebahagiaan tinggi, tekanan sosial untuk selalu terlihat bahagia malah berdampak buruk pada kesejahteraan mental sebagian individu.
Selama beberapa tahun, penelitian Bastian dan timnya berfokus pada tekanan sosial yang dirasakan personal untuk selalu menunjukkan emosi positif dan menghindari aura negatif. Tekanan ini sering disampaikan melalui media sosial (medsos), buku pengembangan diri, dan iklan. Lambat laun, individu menginternalisasi standar emosi yang dianggap bernilai dalam masyarakat mereka.
Ironisnya, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin besar tekanan untuk merasa bahagia, semakin tinggi risiko seseorang mengalami depresi. Meski studi awal berfokus pada individu di Australia dan Amerika Serikat (AS), penelitian terbaru ini memperluas cakupan ke 40 negara dengan melibatkan 7.443 responden.
“Responden diminta menilai kesejahteraan emosional, kepuasan hidup, dan keluhan suasana hati. Hasilnya menunjukkan bahwa tekanan sosial untuk merasa bahagia dan menghindari kesedihan secara global terkait dengan penurunan kesehatan mental,” kata Bastian, sebagaimana dikutip dari Science Alert, pada Sabtu, 25 Januari 2025.
Baca: Rahasia Finlandia Jadi Negara Paling Bahagia di Dunia
Hal ini, lanjut dia, meliputi kepuasan hidup yang lebih rendah, meningkatnya emosi negatif, berkurangnya emosi positif, serta tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang lebih tinggi.
“Untuk memahami perbedaan antarnegara, penelitian ini menggabungkan data dari World Happiness Index yang dikumpulkan oleh Gallup World Poll. Indeks tersebut mengukur kebahagiaan subjektif berdasarkan survei skala besar di berbagai negara,” jelasnya.
Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara dengan peringkat kebahagiaan tinggi, seperti Denmark, tekanan sosial untuk bahagia lebih kuat dan lebih berkaitan dengan kesehatan mental yang buruk.
Meskipun rata-rata masyarakat di negara-negara ini memang lebih bahagia, individu yang merasa sangat tertekan untuk “selalu bahagia” justru lebih rentan mengalami kesejahteraan yang buruk.
Mengapa hal ini terjadi? Bastian menjelaskan bahwa berada di tengah lingkungan yang dipenuhi wajah-wajah bahagia dapat memperburuk dampak tekanan sosial untuk bahagia. Ekspresi kebahagiaan ini tidak hanya terlihat secara langsung, tetapi juga melalui aktivitas sosial dan kesenangan yang lebih sering terjadi di negara-negara tersebut. Kebahagiaan menjadi norma yang diharapkan, sehingga individu yang gagal memenuhinya akan merasa semakin tertekan.
Baca: Gen Z Disebut Punya Tingkat Kebahagiaan Rendah, Ini Penyebabnya
Dalam konteks pribadi, merasakan dan mengekspresikan kebahagiaan adalah hal baik. Namun, Bastian menekankan pentingnya kepekaan terhadap dampak ekspresi emosi positif terhadap orang lain. Ia menyarankan agar individu lebih bijak dalam menunjukkan kebahagiaan, terutama untuk menghindari mengasingkan mereka yang tidak sedang merasakan hal serupa.
Lebih luas, penelitian ini mengusulkan untuk mengubah cara mengukur kesejahteraan nasional. Kebahagiaan bukan sekadar tentang emosi positif, tetapi juga bagaimana seseorang merespons emosi negatif, menemukan makna dalam ketidaknyamanan, serta membangun koneksi antarmanusia.
“Mungkin sudah waktunya menilai negara berdasarkan seberapa aman dan terbukanya mereka terhadap spektrum pengalaman manusia secara utuh, bukan hanya tingkat kebahagiaan semata,” pungkasnya.