Kelaparan di Dunia Makin Parah, Negara Kaya malah Pangkas Bantuan

Anak-anak yatim dan anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka di Kadugli berkumpul untuk makan daun rebus di Kamp IDP di dalam wilayah yang dikuasai Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara (SPLM-N) di Kabupaten Boram, Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, Sudan, 22 Juni 2024. REUTERS/Thomas Mukoya

Ikhbar.com: Krisis kelaparan global terus memburuk. Jumlah orang yang kelaparan atau menghadapi kesulitan hidup meningkat tajam. Sementara itu, negara-negara kaya justru mengurangi kontribusi mereka untuk bantuan kemanusiaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan hanya mampu mengumpulkan dana untuk membantu 60% dari 307 juta orang yang memerlukan bantuan pada 2025. Ini berarti 117 juta orang tidak akan mendapatkan makanan atau bantuan lainnya.

Bahkan pada 2024, PBB hanya berhasil mengumpulkan 46% dari total kebutuhan dana sebesar Rp761 triliun hingga menjadikannya tahun kedua yang secara berturut-turut gagal mencapai setengah dari target.

Di Suriah, Program Pangan Dunia (WFP) sebelumnya membantu 6 juta orang. Namun, akibat penurunan donasi, jumlah penerima bantuan dipangkas menjadi sekitar 1 juta orang.

“Kami mengambil dari yang lapar untuk memberi makan yang kelaparan parah,” kata Asisten Direktur Eksekutif WFP, Rania Dagash-Kamara, sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu, 25 Desember 2024.

Baca: 85% Bantuan untuk Warga Gaza Diblokade Israel

Negara kaya seperti Jerman telah memangkas kontribusinya hingga Rp7,7 triliun pada 2024, dengan rencana pemotongan tambahan Rp15,4 triliun untuk 2025. Sementara itu, kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump mengenai bantuan kemanusiaan masih menjadi tanda tanya.

Pada masa jabatan sebelumnya, Trump berupaya memangkas anggaran bantuan luar negeri secara signifikan.

AS adalah donor terbesar dunia, menyumbang Rp989 triliun untuk bantuan kemanusiaan dalam lima tahun terakhir atau 38% dari total kontribusi global. Namun, ketergantungan pada sedikit donor utama, seperti AS, Jerman, dan Komisi Eropa, yang menyumbang 58% dari total bantuan membuat sistem kemanusiaan global rapuh.

Negara seperti China dan India, meski memiliki ekonomi besar, menyumbang sangat kecil. Pada 2023, China menyumbang Rp176 miliar dan India Rp98 miliar. Sebaliknya, negara kecil seperti Norwegia, dengan GNI kurang dari 2% Amerika Serikat, berada di peringkat tujuh donor terbesar menyumbang lebih dari Rp15,3 triliun.

Mantan Kepala Kemanusiaan PBB, Jan Egeland menyebut ketimpangan ini sebagai hal “gila.”

“Bagaimana bisa ada lebih banyak minat pada Olimpiade atau misi luar angkasa daripada menyelamatkan anak-anak kelaparan?” katanya.

Selain itu, pendanaan juga sering datang terlambat dan disertai syarat yang menyulitkan. Direktur Global Public Policy Institute, Julia Steets mengatakan bantuan sering tiba ketika situasi sudah kritis, seperti kematian hewan ternak atau malnutrisi anak-anak.

Baca: Pemulihan Alam di Seluruh Dunia Butuh Rp11.000 Triliun per Tahun

Mantan Kepala Bantuan PBB, Martin Griffiths menyerukan perubahan model pendanaan. Salah satu usulan adalah pengenaan iuran wajib bagi negara anggota PBB untuk inisiatif kemanusiaan. Namun, usulan ini belum mendapat dukungan.

“Kita tidak bisa terus bergantung pada kelompok donor yang sama,” ujar Juru Bicara PBB, Jens Laerke.

PBB juga berupaya memperluas basis donor agar lebih banyak negara berkontribusi dalam mengatasi krisis kemanusiaan global ini.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.