Membaca Fenomena Bendera One Piece di HUT Ke-80 RI: Antara Kritik Sosial dan Cinta Tanah Air Perspektif Islam

Di sejumlah daerah, bendera bergambar simbol bajak laut populer dari serial Jepang tersebut dikibarkan.
Ilustrasi bendera bajak laut ala One Piece dan bendera merah putih. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Republik Indonesia (RI) sempat diwarnai tren pengibaran bendera One Piece. Fenomena yang viral di jagat media sosial (medsos) ini menuai beragam reaksi publik.

Di sejumlah daerah, bendera bergambar simbol bajak laut populer dari serial Jepang tersebut dikibarkan. Ada yang berdampingan dengan Merah Putih, bahkan ada pula yang berdiri sendiri.

Sejumlah pihak menilai fenomena ini bukan sekadar gurauan, melainkan mengandung pesan kritik sosial, bahkan politik.

Baca: Fikih Kemerdekaan: Memaknai Kebebasan Hakiki dalam Islam

Dominasi kritik sosial

Menanggapi hal itu, Pengasuh Pondok Pesantren Bayt Al-Qur’an (BQ) Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta, Dr. KH Syahrullah Iskandar, menyebut fenomena ini patut dicermati secara jernih. Ia menilai kecenderungan untuk memaknainya sebagai kritik sosial lebih dominan dibanding sekadar ekspresi kreatif.

“Apakah ini hanya ekspresi kreativitas atau bentuk ketidakpuasan terhadap realitas sosial-politik kenegaraan? Jika sekadar kreativitas, tidak perlu dibahas berlebihan. Tetapi jika yang terakhir, tentu harus mendapat perhatian dan respons. Dari pengamatan, kecenderungan memaknainya sebagai kritik lebih dominan,” ujarnya saat dihubungi Ikhbar.com, pada Sabtu, 16 Agustus 2025.

Menurut Kiai Syahrul, sapaan akrabnya, ada sejumlah argumen yang menguatkan tafsir tersebut. Pertama, kemunculannya bertepatan dengan momentum HUT Ke-80 RI. Kedua, bendera One Piece kerap dikibarkan berdampingan dengan Sang Saka Merah Putih, bahkan tidak jarang berdiri sendiri.

“Belum lagi jika gambar itu dimaknai sebagai simbol kritik dan perlawanan kelompok bajak laut terhadap penindasan dan ketidakadilan. Mungkin pesannya adalah kritik kepada penguasa agar lebih merespons fakta kenegaraan yang membutuhkan kehadiran negara lebih maksimal,” tambahnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Bayt Al-Qur’an (BQ) Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta, Dr. KH. Syahrullah Iskandar. Dok IST

Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri

Momentum sakral

Meski demikian, Kiai Syahrul mengingatkan bahwa HUT RI tetaplah momentum sakral yang seharusnya menjadi ruang ekspresi kebanggaan bangsa.

“Akan lebih baik jika kita fokus pada hiruk-pikuk kebanggaan berbangsa yang diekspresikan lebih konstruktif. Tidak sekadar lomba dan semarak guyub di tengah masyarakat, tetapi juga tercermin dalam wajah optimistis dan kontributif untuk kemajuan bangsa,” ujarnya.

“Setiap warga berhak berkontribusi untuk bangsanya dalam berbagai bidang. Namun, pemerintah juga harus memberi peluang dan mendengarkan aspirasi rakyat. Tak kalah penting, pengarusutamaan kesejahteraan yang berkeadilan harus lebih dikedepankan,” imbuhnya.

Lebih jauh, Kiai Syahrul menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari keimanan. Hal itu, katanya, perlu diwujudkan melalui kepedulian generasi muda terhadap lingkungan.

“Ada dua gerakan yang harus dibuktikan. Pertama, secara konseptual, yakni pola pikir generasi muda harus memosisikan lingkungan sebagai ‘mitra sejajar’ dengan manusia. Paradigma antroposentrisme yang hanya berbasis kepentingan manusia harus dikikis dan diganti dengan paradigma yang mengedepankan kelestarian lingkungan,” jelasnya.

Kedua, lanjutnya, adalah gerakan nyata peduli lingkungan. Hal ini sejalan dengan tagline Menteri Agama (Menag) tentang pengarusutamaan ekoteologi.

“Tindakan preventif terhadap bencana akibat ulah manusia harus dikedepankan. Generasi muda harus mengambil bagian dalam menjaga lingkungan sekitar. Kesadaran ini adalah wujud kemerdekaan bangsa jika terus meningkat,” urainya.

Baca: Mendoakan Negara Aman Lebih Utama ketimbang Meminta Terhindar dari Kekafiran

Manifestasi rasa syukur

Menurut Kiai Syahrul, ekspresi syukur atas nikmat kemerdekaan tidak boleh berhenti pada seremoni formal semata.

“Lebih dari itu, harus termanifestasi dalam bentuk nyata dan konstruktif untuk bangsa. Yang terpenting adalah terwujudnya rasa aman, keadilan, dan kesejahteraan, baik fisik maupun batin, yang benar-benar dirasakan warga,” ucapnya.

“Berkontribusi sesuai profesi dan kapabilitas kita adalah bentuk mengisi kemerdekaan. Generasi muda harus terus mengembangkan intelektualitas, kapasitas literasi, dan digitalnya, serta bangga akan budayanya. Moralitas dalam setiap aktivitas adalah indikator kesuksesan. Inilah manifestasi mengisi kemerdekaan kekinian,” imbuhnya.

Sosok yang juga Ketua Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyoroti pula makna filosofis bendera Merah Putih yang sering dilupakan.

“Bendera Merah Putih harus dipahami makna historis dan filosofisnya. Ia simbol pemersatu bangsa dan pembangkit semangat meraih kemerdekaan. Filosofinya adalah keberanian dan kesucian. Ketika makna ini dipahami, kesatuan dan solidaritas harus diwujudkan,” tegasnya.

“Jika generasi muda hanya memaknainya sekadar sehelai kain merah putih yang dikibarkan pada tanggal tertentu, bisa jadi semangat berkarya untuk bangsa tidak tumbuh,” lanjutnya.

Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam

Cinta tanah air di era digital

Di tengah derasnya arus digital dan distraksi budaya, ia menilai cinta tanah air dapat diwujudkan melalui langkah nyata di lingkungan sekitar, sembari belajar dari teladan Rasulullah Saw.

“Sebagaimana tercermin dari keteladanan Rasulullah Saw ketika berhijrah ke Madinah. Beliau berupaya menghentikan pertikaian antara suku Aus dan Khazraj, serta memperkuat solidaritas dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Demikian juga peristiwa Fathu Makkah dan kegiatan lainnya, semuanya menunjukkan pentingnya persatuan dan solidaritas,” ungkapnya.

“Generasi muda kini dapat mengisi kemerdekaan dengan mengenal dan mencintai budaya sendiri, lalu menyosialisasikannya sesuai konteks kekinian. Kita jangan sampai terjebak penyakit ‘west toxicated’ yang membuat minder terhadap budaya Barat. Prinsip ‘think globally, act locally’ tetap relevan hingga kini,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.