Dari Obor ke Podcast: Nilai Pesantren yang Pantang Padam

Pesantren berdiri di tengah zaman yang feodal dan keras, tetapi mampu menjadi tempat berteduh dan belajar.
Ilustrasi kekuatan sejarah dan transformasi pesantren. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Malam puncak Peringatan Haul KH Salwa Yasin, KH Asror Hasan, dan KM. Adnan Amin Asror, serta Haflah Imtihan Ke-46 Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jawa Barat menjelma menjadi ruang perenungan mendalam. Dalam suasana yang khidmat, para tokoh, santri, dan masyarakat larut menyimak pesan tentang nilai luhur pesantren, tantangan yang dihadapi, serta upaya menjaga warisan keilmuan dan spiritualitas.

Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Muadalah dan Diniyah Formal Direktorat Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI, Dr. H. Endi Suhendi Zen, hadir menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan dan peran penting pesantren dalam sejarah pendidikan di Indonesia.

“Pesantren adalah pendidikan pertama dan utama di Indonesia. Kita berutang kepada para kiai dan santri yang menjaga Islam sejak sebelum republik ini lahir,” katanya di hadapan ribuan jemaah, Sabtu, 28 Juni 2025.

Kasubdit Muadalah dan Diniyah Formal Direktorat Pesantren Kemenag RI, Dr. H. Endi Suhendi Zen saat menyampaikan Amanat Menag dalam Malam Puncak Haul dan Haflah Imtihan Ke-46 di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Sabtu, 28 Juni 2025. Dok IKHBAR

Baca: 5 Keuntungan Mondok di Pesantren Ketitang Cirebon

Dalam sambutannya mewakili Menteri Agama (Menag), Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar itu, dia menyebutkan nama KH Salwa Yasin, pendiri Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, yang lahir pada tahun 1876 sebagai contoh konkret kontribusi pesantren sejak masa awal.

“Kebayang enggak seperti apa Cirebon, khususnya Ketitang ini di masa itu?” kata Ajengan Endi, sapaan karibnya.

“Tempat ini tentu sunyi tanpa listrik, jauh dari pusat peradaban. Namun, dari tanah yang senyap ini, justru lahir cahaya-cahaya Islam,” sambungnya.

Ajengan Endi menekankan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan para pendiri pesantren bukan sekadar ajaran agama, tetapi juga cara hidup yang mencerminkan keikhlasan, keberanian, dan keteladanan. Pesantren berdiri di tengah zaman yang feodal dan keras, tetapi mampu menjadi tempat berteduh dan belajar.

“Saya bayangkan beliau-beliau, para pendiri, mengajari ngaji santrinya pakai obor. Tapi tak masalah, karena cahaya yang sebenarnya itu datang dari iman,” ujar dia.

Baca: Menjaga Kekhasan Pendidikan Batin Pesantren

Akhlak dan keikhlasan

Lebih lanjut, ia menyoroti kontribusi penting pesantren dalam membentuk generasi bangsa yang berakhlak luhur. Menurutnya, hampir seluruh pesantren di Indonesia menekankan kurikulum yang membangun sikap toleran, terbuka, dan moderat.

Tradisi yang hidup di lingkungan pesantren, seperti peringatan haul, menurutnya bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk pengingat bahwa perjuangan pesantren belum selesai.

Ia pun mengajak seluruh hadirin untuk menjaga warisan pesantren secara aktif. Tidak hanya mengagumi, tetapi juga meneruskan langkah-langkah para pendahulu.

“Saya bukan pakar. Tapi saya ingin belajar. Dan ingin membantu agar pesantren tetap jadi cahaya bagi negeri ini,” katanya.

Ajengan Endi kemudian menegaskan bahwa tugas pemerintah, khususnya Kemenag, bukan untuk memerintah pesantren, melainkan melayani.

“Kemenag adalah khadimah pesantren. Kami ini pelayan. Yang tahu agama itu para kiai, kami hanya berikhtiar membantu agar kerja beliau-beliau lebih mudah,” ungkapnya.

Namun, ia juga menyampaikan secara jujur tentang keterbatasan negara. Efisiensi anggaran membuat dukungan pemerintah kepada pesantren bisa jadi lebih terbatas dari sebelumnya.

“Kalau tidak ada tantangan itu, tentu Kemenag selalu ingin memberikan yang terbaik bagi pesantren,” katanya.

“Tapi, kami juga sangat percaya, bahwa para kiai dan pengasuh pesantren senantiasa menjalankan keseharian dan pengabdiannya dengan penuh ikhlas. Itu yang sangat kami kagumi dan hargai,” tambahnya.

Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi

Melek zaman

Meski menjunjung tinggi tradisi, pesantren menurutnya tetap harus relevan dan hadir di tengah perkembangan zaman. Salah satu jalannya adalah dengan mengadopsi kemajuan teknologi.

“Seperti di Pesantren Ketitang ini, santri diajari broadcasting, bahkan punya studio podcast. Ini sangat luar biasa,” katanya.

Ia menekankan bahwa kitab-kitab klasik harus tetap diajarkan, tetapi metode penyampaiannya perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi.

“Kitab Safinah tetap dibaca. Tapi sekarang pakai mikrofon, kadang direkam, kadang disiarkan. Ini yang sedang diperjuangkan banyak pesantren,” ujar Ajengan Endi.

Di akhir sambutannya, ia mengingatkan bahwa teknologi harus dijadikan sarana untuk memperkuat dakwah pesantren, bukan menggantikan ruh pendidikan yang telah lama melekat di dalamnya.

“Yang penting bukan alatnya, tapi niat dan arah dakwahnya,” tutupnya.

Simak salah satu episode podcast pesantren terbaik di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.