Ikhbar.com: Musim haji 2025 telah memasuki fase kepulangan. Suasana haru dan sukacita kembali menyelimuti bandara-bandara di seluruh Indonesia. Keluarga, tetangga, dan warga sekitar menyambut para jemaah dengan pelukan hangat dan doa penuh syukur. Tangis bahagia pun pecah saat para jemaah turun dari pesawat, disambut sapaan khas yang sarat makna, “Selamat datang, Pak Haji!”
Namun, di balik tradisi ini, muncul pertanyaan penting, “Benarkah memanggil seseorang dengan gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ adalah hal yang dianjurkan dalam Islam? Apakah ada batasan dalam penggunaannya agar tidak berubah dari bentuk penghormatan menjadi bentuk kesombongan atau bahkan riya?”
Baca: Berhati-hati lewat Fikih Haji
Boleh, dengan syarat
Di Indonesia, gelar “Haji” seolah menjadi simbol status sosial baru. Dalam beberapa kasus, sebutan ini bahkan lebih kuat efeknya ketimbang panggilan akademik atau profesional. Seseorang bisa lebih dihormati karena predikat “Haji” dibanding “Profesor” atau “Doktor”. Ini menunjukkan betapa dalamnya pengaruh budaya terhadap cara masyarakat memaknai ibadah haji.
Akan tetapi, jika dipandang dengan kacamata syariat, panggilan ini tidak sepenuhnya bebas nilai. Ia bisa bernilai pahala, bisa pula berujung pada dosa, tergantung niat dan praktik di baliknya.
Syekh Ahmad Huthaybah dalam Syarh Kitab al-Jami‘ li-Ahkam al-Umrah wa al-Hajj wa al-Ziyarah mengutip pendapat Al-Imam Abu Zakaria Muhyi ad-Din Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal sebagai Imam An-Nawawi, bahwa memanggil seseorang yang telah berhaji dengan sebutan “Haji” adalah diperbolehkan, bahkan meskipun sudah bertahun-tahun lamanya setelah ia menunaikan ibadah haji.
يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ: حَاجّ، بَعْدَ تَحَلُّلِهِ وَلَوْ بَعْدَ سَنَتَيْنِ، وَكُلُّ الحُجَّاجِ الآنَ يُنَادُوْنَ بَعْضَهُمْ بِهٰذَا، فَهٰذِهِ الكَلِمَةُ الرَّاجِحُ فِيهَا أَنَّهَا جَائِزَةٌ، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ عَلَى وَجْهِ الِافْتِخَارِ، أَوْ عَلَى وَجْهِ التَّسْمِيعِ بِالْعَمَلِ، كَانَ يَحُجُّ لِكَيْ يُقَالَ لَهُ النَّاسُ: يَا حَاجّ، بَلْ قَدْ يَغْضَبُ عِنْدَمَا يُقَالُ لَهُ: يَا فُلَان، وَهٰذَا غَيْرُ جَائِزٍ. وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يَطْلُبَ هُوَ مِنَ النَّاسِ ذٰلِكَ، وَلٰكِنْ إِذَا قِيْلَ لِلْحَاجّ: يَا حَاجّ، دُوْنَ طَلَبِهِ، فَالرَّاجِحُ أَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِي ذٰلِكَ، سَوَاءٌ قِيْلَ لَهُ فِي وَقْتِهَا أَوْ بَعْدَ ذٰلِكَ
“Boleh dikatakan kepada seseorang yang telah berhaji: ‘Haji’, meskipun telah lama ia menyelesaikan hajinya, bahkan setelah dua tahun. Dan sekarang ini para jamaah haji saling memanggil dengan sebutan itu. Maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa sebutan itu diperbolehkan, selama tidak disertai unsur kebanggaan atau riya karena amalannya. Seperti seseorang berhaji agar dipanggil orang-orang: ‘Ya Hajj’. Bahkan ia mungkin akan marah bila dipanggil dengan nama lain seperti ‘Wahai Fulan’. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Tidak boleh pula seseorang meminta secara langsung kepada orang lain agar dipanggil ‘Pak Haji’. Namun, bila seseorang dipanggil ‘Ya Hajj’ tanpa ia meminta, maka pendapat yang kuat adalah tidak ada makruh (larangan) dalam hal itu, baik sebutan itu dikatakan kepadanya pada saat itu (saat musim haji) maupun sesudahnya.”
Dengan demikian, titik kritis dalam penggunaan sapaan “Haji” bukan pada katanya, tetapi pada niat dan konteks. Jika seseorang tidak pernah meminta dipanggil demikian, tidak merasa bangga berlebihan, dan tidak tersinggung saat tidak disebut “Pak Haji”, maka penggunaan sapaan tersebut tergolong mubah dan tidak makruh.
Namun, sebaliknya, jika seseorang berhaji demi sebutan itu atau tersinggung saat tidak dipanggil demikian, maka yang terjadi adalah penyimpangan niat. Ini bisa mengarah pada riya atau ujub, dua penyakit hati yang sangat dikecam dalam ajaran Islam.
Baca: [Filosobih] Labbaik!
Pertimbangan tradisi dan syariat
Menariknya, tradisi memberi gelar sesuai keinginan atau kenyamanan seseorang diakui oleh para ulama sebagai sesuatu yang baik. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ juga menjelaskan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ
“Para ulama sepakat bahwa dianjurkan memanggil seseorang dengan julukan yang disukai oleh si empunya. Di antara contohnya adalah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdullah bin Utsman, dijuluki ‘Atiq’.”
Artinya, jika seorang yang telah berhaji memang senang disapa demikian, dan tidak ada niat buruk di baliknya, maka hal itu boleh dilakukan, sepanjang tidak berlebihan.
Lebih jauh, Imam Nawawi bahkan menyatakan bahwa memanggil seseorang dengan sebutan “Haji” tetap dibolehkan meskipun orang itu telah wafat.
يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ حَاجٌّ بَعْدَ تَحَلُّلِهِ وَلَوْ بَعْدَ سِنِينَ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ أَيْضًا وَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ
“Diperbolehkan memanggil orang yang telah berhaji ‘Hajjun’ setelah melakukan prosesi tahallul, meski sudah berpuluh-puluh tahun lamanya dan setelah wafatnya orang tersebut, dan hukumnya tidak dimakruhkan.”
Baca: Kiai Syafi’i: Haji Mabrur bukan Label Permanen, Jangan sampai Balik ke Setelan Awal
Bagaimana jika kepada yang belum berhaji?
Meski begitu, para ulama menyarankan agar tetap berhati-hati menyapa seseorang dengan sebutan “Haji”. Jika sebutan itu diberikan kepada orang yang belum menunaikan ibadah haji, hanya karena dianggap layak dihormati, maka hal itu bisa termasuk kebohongan.
Syekh Sulaiman bin Umar bin Manshur Al-‘Ujaili, dalam Futuhat al-Wahab bi Taudlih Syarh Minhaj at-Thullab menegaskan:
وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ مَعَ بَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ يَا حَاجُّ فُلَانُ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا، وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ؛ لِأَنَّهُ كَذِبٌ؛ لِأَنَّ مَعْنَى يَا حَاجُّ فُلَانُ يَا مَنْ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ
“Ada pertanyaan mengenai keumuman yang terjadi dalam pembicaraan manusia satu sama lain, panggilan bagi orang yang belum menunaikan ibadah haji ‘Wahai Haji Fulan’ dalam rangka mengagungkannya. Apakah hal ini diharamkan atau tidak? Lalu beliau menjawab: Sesungguhnya hal itu jelas diharamkan sebab berdusta. Karena makna dari ‘Wahai Haji Fulan’ itu adalah seseorang yang melaksanakan ibadah haji dengan rangkaian prosesi tertentu.”
Kecuali jika sapaan itu bukan dalam arti syar‘i, melainkan makna bahasa seperti “orang yang hendak menuju tempat” atau sebagai ungkapan sosial non-teknis, maka tidak diharamkan.
Syekh Ali Syibramulisi dalam Hasyiyah Ali Syibramalisi ala Nihayah al-Muhtaj menjelaskan:
نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ فُلَانُ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ
“Ya, apabila yang dikehendaki dengan panggilan ‘Wahai Haji Fulan’ makna secara bahasa dan diniatkan dengan pengertian harfiah yang benar, seperti halnya panggilan ‘Pak Haji’ dimaksudkan ‘Pak yang hendak menuju salat berjamaah atau selainnya’ maka hukumnya diperbolehkan.”
Alhasil, haji adalah ibadah ruhani yang tinggi nilainya. Maka jangan biarkan ia berubah menjadi lambang riya, gengsi, atau kelas sosial semu. Biarlah panggilan “Haji” menjadi bentuk kasih sayang masyarakat terhadap orang yang telah menunaikan panggilan Ilahi.
Dan bagi yang dipanggil, tetaplah rendah hati. Ingat, derajat tak ditentukan oleh gelar di depan nama, melainkan oleh ketakwaan dan keikhlasan yang tersembunyi di dalam dada.