Ikhbar.com: Bagi kebanyakan orang, ampunan identik dengan melupakan. Ketika kesalahan dimaafkan, seolah semua riwayat terhapus. Namun, dalam tarbiyah Allah, hal itu tidak selalu demikian.
Allah Swt memang Maha Pengampun. Dia menghapus dosa hamba yang bertaubat dengan tulus. Namun, terkadang jejak dosa itu sengaja dibiarkan tetap ada di hati. Bukan untuk menyiksa, melainkan untuk menjaga.
Inilah yang dimaksud para sufi ketika berkata, “Allah kadang memaafkan, tapi tak melupakan.” Dia mengampuni, tetapi tetap menanamkan rasa malu, takut, dan rendah hati agar hamba tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Dalam Al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah al-Sakandari menulis:
رُبَّمَا فَتَحَ لَكَ بَابَ الطَّاعَةِ وَمَا فَتَحَ لَكَ بَابَ القَبُولِ، وَقَضَى عَلَيْكَ بِالذَّنْبِ فَكَانَ سَبَبًا فِي الوُصُول
“Mungkin saja Allah membukakan pintu ketaatan, tetapi tidak membukakan pintu penerimaan. Atau, Allah menakdirkan sebuah dosa, dan dosa itu justru menjadi sebab sampainya engkau kepada-Nya.”
Terkadang, dosa menjadi tangga menuju Allah. Luka yang ditinggalkannya membuat hati tunduk. Jejak itu menjadi pengingat bahwa keselamatan tidak datang dari amal yang sempurna, melainkan dari rahmat-Nya.
Baca: Apakah Allah Pernah Tersenyum?
Rasa takut yang tersisa
Sufi besar Tarekat Shādziliyyah di Maghrib (Maroko) dan Andalusia, Ibn ‘Abbād al-Rundī, memberi nasihat penting:
ينبغي أن لا ينظر العبد إلى صور الأشياء، ولينظر إلى حقائقها
“Seorang hamba hendaknya tidak melihat pada bentuk lahiriah sesuatu, tetapi melihat pada hakikatnya.”
Amal yang tampak indah di mata manusia belum tentu diterima Allah. Bisa jadi, ketaatan itu mengandung ujub atau riya. Inilah mengapa Allah kadang menutup pintu penerimaan meski pintu ketaatan terbuka.
Sebaliknya, dosa yang tampak buruk bisa menjadi jalan pulang. Ia memaksa hamba untuk merendahkan diri dan bergantung penuh pada Allah. Dalam proses itu, Allah mengampuni. Namun, bekasnya tetap tertanam—rasa takut yang terus hidup di dalam dada.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
والذي نفسي بيده، لو لم تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللهُ بِكُم، وجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian. Lalu Allah mendatangkan kaum yang berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun, dan Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)
Dalam Sirāj al-Ẓulam fī Sharḥ Talkhīṣ al-Ḥikam, al-Mullā al-Aḥsā’ī, Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Umar al-Mullā al-Ḥanafī al-Aḥsā’ī (wafat 1270 H) menjelaskan, ketaatan yang menghadirkan kesombongan lebih berbahaya daripada dosa yang melahirkan penyesalan.
Amal yang disertai ujub ibarat bejana emas berisi racun. Dosa yang melahirkan taubat ibarat bejana tanah liat berisi obat mujarab.
Allah memaafkan, tetapi bekas itu sengaja disisakan. Rasa takut yang lahir dari bekas itulah yang menjaga langkah seorang hamba.
Baca: Malam dan Siang, Mana yang Lebih Dulu Allah Ciptakan?
Jejak yang menghidupkan hati
Ulama tabi’in Abū Ḥāzim Salamah bin Dīnār Al-Madanī, atau yang lebih dikenal sebagai Abū Ḥāzim, berkata:
إن العبد ليعمل الحسنة تسره حين يعملها، وما خلق الله تعالى من سيئة أضر له منها، وإن العبد ليعمل السيئة تسوؤه حين يعملها، وما خلق الله تعالى من حسنة أنفع منها
“Seorang hamba melakukan kebaikan yang membuatnya gembira, namun tidak ada yang lebih berbahaya baginya daripada kebaikan itu. Dan ia melakukan dosa yang membuatnya sedih, namun tidak ada yang lebih bermanfaat baginya daripada dosa itu.”
Kebaikan yang disertai kesombongan dapat menghapus pahala. Dosa yang diiringi penyesalan dapat melahirkan kesadaran dan ketundukan. Itulah mengapa Allah kadang memaafkan dosa itu, tetapi membiarkan rasa takutnya menetap.
Jejak itu bukan sisa hukuman, melainkan tanda cinta. Ia seperti bekas jahitan pada luka—mengingatkan masa lalu sekaligus menandakan bahwa luka itu telah sembuh.
Dalam tasawuf, ini adalah bentuk pendidikan rohani. Allah tidak melupakan bukan karena dendam, tetapi karena ingin menjaga hati tetap rendah, khusyuk, dan dekat pada-Nya.
Maka, memaafkan tetapi tak melupakan adalah rahmat yang tersembunyi. Tanpa bekas itu, manusia akan mudah lupa. Dengan bekas itu, ia akan berjalan lebih hati-hati menuju Allah, sambil memeluk rasa takut dan harap yang menjadi tanda hidupnya iman.