Demokrasi vs Khilafah, Lebih Baik Mana?

Peralihan kekuasaan dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib tidak mengikuti satu pola baku.
Ilustrasi seorang santri memegang buku berjudul "Kontroversi Dalil-dalil Khilafah (2017). Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Kata “politik” selama ini sering terdengar sebagai sesuatu yang terkesan kotor, licik, dan penuh intrik. Dampaknya, tidak sedikit anak muda, terutama dari kalangan santri, merasa perlu menjaga diri keterlibatan mereka dengan diam.

Padahal, penulis sekaligus pemerhati sejarah politik Islam, Ustaz Muhammad Sofi Mubarok menegaskan, cara pandang semacam itu justru merugikan, bahkan berbahaya.

“Orang lupa bahwa politik itu akan menentukan harga telur hari ini,” ujarnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menganyam Sejarah Politik Islam” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 12 Mei 2025.

Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam

Tokoh muda asal Cirebon itu mengajak publik, terutama santri dan anak muda, untuk memaknai ulang politik dalam kerangka Islam dan sejarah, tanpa terseret romantisme sistem lama seperti khilafah.

Baginya, politik dalam Islam bukanlah bentuk final yang sakral dan wajib diikuti literal.

“Yang dipraktikkan di masa lalu itu kan ijtihad, inovasi,” tegasnya.

Ustaz M. Sofi Mubarok (Kanan) dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menganyam Sejarah Politik Islam” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Mozaik Politik Jazirah Arab sebelum Islam

Tafsir keliru khilafah

Gus Sofi, demikian ia akrab disapa, mengungkap bagaimana sebagian umat Islam hari ini justru mengidealkan sistem khilafah sebagai solusi tunggal atas seluruh problem bangsa. Padahal, banyak bagian dari sistem itu sendiri yang penuh dengan konflik, manipulasi, bahkan nepotisme.

Ia menyebut bahwa kesalahan bukan terletak pada sejarahnya, melainkan tafsir yang menganggap sistem khilafah sebagai satu-satunya format politik Islam yang sah.

“Apakah kemudian kita berbeda dengan (khalifah) Abu Bakar? Tidak. Secara substansi sama. Karena sistem politik itu memungkinkan kita untuk menggunakan format terbaik dengan konsepsi apapun,” ungkapnya.

Kritiknya juga diarahkan kepada kelompok yang merasa demokrasi adalah sistem yang gagal karena tak sesuai dengan syariat.

“Sebelum kita membenahi sistemnya, infrastruktur sumber daya manusianya itu yang perlu dibenahi,” ujar Gus Sofi.

Baca: Buya Said: Nasionalisme Religius Kunci Kesatuan Bangsa

Tiga penyakit politik

Penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah (2017) itu menegaskan bahwa demokrasi yang diberlakukan hari ini di Indonesia bukanlah sistem yang cacat, melainkan sistem yang membutuhkan keterlibatan publik secara terus-menerus.

“Ongkos paling mahal dari demokrasi adalah pengawasan sepanjang masa,” katanya.

Dalam sejarah Islam sendiri, Gus Sofi menunjukkan bahwa peralihan kekuasaan dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib tidak mengikuti satu pola baku. Semua itu adalah hasil ijtihad sesuai konteks dan kebutuhan zaman.

Bahkan, Imam Syafi’i, lanjut Gus Sofi, membuka kemungkinan penggulingan penguasa zalim demi kemaslahatan umat. Menurutnya, ini merupakan sebuah prinsip yang sangat demokratis dalam esensinya, dan syar’i secara hukum.

“Di sinilah relevansi kritik pemikir Muslim progresif, Abid Al-Jabiri, dalam karyanya Al-‘Aqlu al-Siyasi al-‘Arabi, menjadi penting,” tegasnya.

Menurut Al-Jabiri, kata Gus Sofi, ada tiga penyakit utama dalam politik, yakni akidah sebagai ideologi eksklusif, fanatisme qabilah (kelompok), dan orientasi kekuasaan demi ghanimah (harta rampasan perang).

Ketiganya bisa merusak sistem politik apapun, baik demokrasi maupun khilafah.

“Artinya, jika tiga penyakit ini tak dibenahi, sistem sebaik apapun akan menjadi ladang kerusakan,” ujarnya.

Baca: Daftar Politikus Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam

Revolusi mental adalah keniscayaan

Menurut Gus Sofi, fondasi politik Islam Indonesia masa depan harus diawali dengan revolusi mental. Namun, ia tak sedang merujuk pada jargon kampanye, melainkan pada konsep transformasi akhlak dalam arti yang paling dalam dan konkret.

Ia menyitir hikmah Sayidina Ali, bahwa pemimpin adalah cermin rakyatnya. Jika masyarakat tidak jujur, maka pemimpin yang terpilih pun akan cenderung mencerminkan keburukan itu.

Gus Sofi menyebut bahwa sejarah peradaban Islam pun tak lepas dari peran politikus dan pemimpin spiritual yang berhasil mengubah moral masyarakat.

Ia mencontohkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang aktif dalam gerakan sosial dan perbaikan masyarakat di masa pasca-Abbasiyah.

“Justru para tokoh-tokoh sufi itu adalah tokoh-tokoh yang banyak melahirkan gerakan sosial di masyarakat,” ujarnya.

Ia menggarisbawahi, perubahan sosial yang sejati harus dimulai dari perubahan karakter individu. Sebagus apapun sistem politik atau struktur pemerintahan, jika diisi oleh orang-orang yang rakus, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.

Baca: Koalisi Politik dalam Sejarah Nabi

Jangan diam

Gus Sofi berpesan kepada para santri dan anak muda muslim bahwa diam bukanlah solusi. Menghindari politik karena takut kotor itu justru memperbesar kemungkinan orang-orang rakus untuk menguasai ruang publik.

“Politik itu bukan masa depan, tapi hari ini,” katanya.

Ia menegaskan bahwa sikap apatis terhadap politik hanya akan menyuburkan ketidakadilan. Santri harus turun tangan. Tidak selalu harus lewat partai atau pencalonan, tapi dengan cara yang sesuai dengan kapasitasnya, yakni menjadi warga yang sadar, aktif, dan kritis.

Gus menutup dengan nasihat warisan dari gurunya, Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang mengatakan, “Sebelum memperbaiki sistem, benahi dulu manusianya.”

“Jadilah orang baik di lini masing-masing,” serunya.

Obrolan selengkapnya, bisa disimak di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.